Tag Archives: Artikel

Nihilisme Nietzsche

Standar

Nihilisme (dari bahasa Latin nihil, berarti “tidak ada”) adalah pandangan filosofi, aliran, atau mazhab dalam filsafat, yang menolak aspek umum dan fundamental dari eksistensi manusia,seperti kebenaran objektif, pengetahuan, moralitas, nilai, atau makna kehidupan.¹
Nihilisme mungkin pertama kali digunakan oleh NI Nadezhdin, dalam sebuah artikel tahun 1829 di Messenger of Europe , di mana ia menerapkannya pada Aleksandr Pushkin².
Dengan kata lain, paham nihilisme menganggap segala sesuatu tidak berarti. Paham ini cukup ekstrim dalam mencari tujuan hidup.
Nihilisme merupakan istilah yang telah lama muncul, yakni sejak abad pertengahan, dan digunakan oleh kelompok klenik tertentu. Istilah ini muncul di Rusia pada abad ke-19, pada tahun awal kekuasaan Tsar Alexander II. Paham tersebut dianggap identik dengan gerakan revolusioner yang menolak otoritas negara, gereja, dan keluarga.³
Nietzsche adalah sosok yang sering kali dikaitkan dengan paham nihilisme. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Sebagai manusia perlu memberikan jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa dan akan kemana menuju.  Nihilisme memiliki beberapa pandangan: tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta. ⁴
Karya – karya Friedrich Nietzsche, seorang ahli filsafat dan kritikus budaya asal Jerman, memiliki pengaruh besar pada filsafat Barat dan sejarah intelektual. Ia terkenal karena kritik tajamnya mengenai moralitas dan agama tradisional Eropa, ide – ide filosofis konvensional, dan kesalehan sosial dan politik yang terkait dengan modernitas.
“Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya.” Itu adalah kutipan paling terkenal dari seorang filsuf legendaris Friedrich Nietzsche. Tapi ungkapan itu tidak bisa ditelan mentah-mentah. Ada kritik sosial yang terkandung dalam gagasan yang sering dikaitkan dengan kelahiran faham nihilisme itu.
ungkapan Nietzsche bisa dipahami sebagai penggambaran bagaimana ia memahami dunia sebagai realitas yang perlu dijalani tanpa mempersoalkan baik dan buruk sebagai standar moral yang mutlak. Menurutnya, manusia telah lama berada dalam cengkraman kekuatan supernatural atau ketuhanan yang tanpa disadari telah melucuti semua potensi vital manusia.
Manusia perlu nuansa baru, yakni nuansa yang bebas dari segala macam nilai dan nuansa yang lebih akomodatif bagi seluruh kreativitas masing-masing individu. Sejak itu, Tuhan seperti tak lagi akomodatif dan aspiratif bahkan dianggap menakutkan karena selalu mengamati perilaku manusia, sehingga ruang kebebasan manusia terpojok dan nyaris hilang padahal ekspresi kebebasan itulah yang mengidndikasikan betapa luhurnya keberadaan manusia.⁵
Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, apa perlu permainan-permainan suci yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata supaya layak akan hal itu (pembunuh Tuhan)”?⁶
Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik, tetapi juga kepada penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang objektif dan universal, yang mengikat semua individu. Tuhan yang dibunuh Nietzsche bukanlah Tuhan dalam pemahaman yang spiritualis, transendental, absolute, melainkan Tuhan yang menjerumuskan manusia pada dehumanitas seperti Tuhan-tuhan pagan yang dikerangkeng dalam kotak-kotak dikotomis, termasuk model keagamaan monoteisme – politeistik mayoritas kita.
Secara singkat dan sederhana nihilisme dapat diartikan sebagai runtuhnya nilai-nilai tertinggi dan kegagalan manusia menjawab persoalan “untuk apa”? Dengan runtuhnya nilai-nilai, orang dihadapkan pada persoalan bahwa segalanya menjadi tak bermakna dan tak ternilai. Setelah mengajukan persoalan nihilisme, Nietzsche mengajukan prinsip-prinsip untuk mengevaluasi seluruh nilai supaya dapat melihat nilai baru.Sejak awal karya-karyanya memperlihatkan minatnya pada bidang seni sebagai pengganti bidang moral yang selama ini membelenggu manusia. Belenggu yang kedua datang dari kesadaran yang berlebihan akan sejarah. Nietzsche ingin membebaskan orang dari beban moral dan beban sejarah.

Sumber:
1. Wikipedia
2.https://delphipages.live/id/politik-hukum-pemerintahan/politik-sistem-politik/nihilism
3.https://www.idntimes.com/science/discovery/monica-gracia/paham-nihilisme-c1c2
4.https://www.kompasiana.com/abidin01grabyagan/54f71c4fa33311b1228b47ca/nihilisme-vs-agama
5. Yulius Aris Widiantoro yang bertajuk Nihilisme sebagai Problem Eksistensial (2009) dalam https://voi.id/memori/16928/apa-arti-ungkapan-tuhan-telah-mati-nietzsche-sebenarnya.
6.https://spada.uns.ac.id/mod/assign/view.php?id=169882

Pendidikan atau Mesin Industri

Standar

Zaman terus saja berputar. Konon, kini manusia telah memasuki peradaban modern yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi serta kemajuan industri untuk memenuhi segala kebutuhan manusia. Menghadapi zaman yang seperti ini, kebutuhan-kebutuhan manusia yang dahulu bisa dibilang sederhana saja, seperti sekadar makan, tempat tinggal, pakaian, atau kendaraan, kini detailnya menjadi bermacam-macam dan rumit. Manusia semakin dimudahkan dengan berbagai kecanggihan yang pada zaman dahulu tak pernah terbayangkan, namun juga dihadapkan pada banyak masalah yang tidak ringan.

Salah satu masalah penting yang dihadapi manusia adalah terjauhkannya dari aspek kemanusiaannya tatkala terlalu jauh masuk dalam kepentingan kapitalisme modern. Belum lagi adanya dominasi kekuatan besar yang ingin menguasai manusia pada umumnya untuk kepentingan kekuasaan ekonomi, politik, atau bahkan ideologi tertentu. Pada saat seperti ini, peran pendidikan diyakini penting untuk menjaga hakikat kemanusiaan agar tiada tergerus begitu saja atau membawa kembali kemanusiaan pada wilayah yang sesuai dengan fitrahnya. Jangan sampai kehidupan yang dianggap canggih justru membuat manusia kehilangan kebebasannya karena manusia telah diperlakukan dengan tidak adil sebagai sesama manusia oleh pihak yang lebih berkuasa.

Dalam sebuah bukunya yang berjudul Pendidikan Populer; Membangun Kesadaran Kritis, Mansour Fakih berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan ideologi dominan yang tengah berlaku di masyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu kehidupan masyarakat yang adil. Tugas yang penting ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil.

Namun, sayang sekali, pendidikan yang dianggap sebagai wahana penting untuk menjaga hakikat dari kemanusiaan ini justru menjadi mesin industri bagi kepentingan pasar. Pendidikan dalam banyak sisi justru melakukan proses peminggiran rasa kemanusiaan karena peserta didik diposisikan sebagai objek yang dikerahkan oleh perangkat pendidikan untuk dijadikan manusia-manusia yang siap pakai di dunia industri dan pasar global. Siap pakai yang dimaksudkan di sini tak ubahnya sebagai mekanik yang sesuai dengan keinginan pasar dan industri. Bila sudah begini, peserta didik akan berlaku tak ubah seperti robot-robot yang sudah tentu semakin terjauh dari kemanusiaannya. Inilah sebuah proses pembelajaran yang berorientasi pada pendidikan mekanistis-materialistis.

Proses pembelajaran yang sudah terpola untuk berorientasi pada pendidikan mekanistis-materialistis sesungguhnya akan sulit untuk mengarahkan pembentukan karakter pada diri anak didik yang kritis dalam menghadapi persoalan kehidupan. Hasil dari pendidikan seperti ini juga akan sulit untuk mempunyai kepekaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Padahal, mempunyai jiwa yang kritis dan peka terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat adalah manifestasi dari sebuah pribadi yang tercerahkan dan cerdas. Bila keadaan pendidikan sudah seperti ini, tentu peran pendidikan bukan mencerahkan manusia dan kembali kepada hakikat kemanusiaannya, melainkan justru membawanya menjauhi hakikat kemanusiaan.

Ciri utama dari pendidikan yang mekanistis-materialistis, jika ditinjau dari teori filsafat, materialisme diartikan sebagai paham yang menegasikan dimensi ruhiyah atau nilai-nilai spiritual. Dalam praktiknya, pendidikan yang seperti ini cenderung menekankan penguasaan materi-materi pengetahuan tanpa bobot moral-spiritual yang memadai. Sebagai akibatnya, pendidikan akhirnya dinilai gagal dalam membangun karakter manusia yang cerdas dan bermoral. Pendidikan tak ubahnya seperti mesin industri yang hanya menghasilkan lulusan yang siap untuk digunakan sesuai dengan kebutuhan dalam kehidupan modern.

Penekanan pendidikan sebagaimana tersebut biasanya hanya mengembangkan unsur kognitif daripada unsur afektif yang ada pada diri anak didik. Transformasi ilmu pengetahuan akhirnya hanyalah merupakan penjejalan beragam teori dan informasi atau tak jarang bersifat sangat mekanis. Jadi, tak ada penekanan untuk mengadakan internalisasi nilai-nilai di dalamnya. Praktik pendidikan yang demikian tentu jauh pula dari pengembangan cara berpikir yang kritis terhadap segala persoalan yang terjadi, apalagi menentang dengan mengembangkan sistem baru dalam mengatasi masalah kemanusiaan yang membelenggu.

Apabila orientasi utama pendidikan adalah memenuhi kebutuhan pasar semata maka lembaga pendidikan menjadi mesin industri yang siap memenuhi pesanan pasar. Anehnya, model pendidikan demikian yang sering dinilai sebagai pendidikan yang unggul dan bermutu. Lulusannya langsung dibutuhkan dan diserap oleh pasar yang sesungguhnya adalah kapitalisme global. Sungguh, bila pola pendidikan yang demikian tidak diubah, selamanya akan terjebak dengan kepentingan kapitalisme global yang kita semua tahu telah menjauhkan manusia dari fitrahnya.

Dunia pendidikan tidak lagi menjadi tempat untuk mendapatkan dan mengasah pencerahan, melainkan hanyalah laksana mesin industri yang siap memproduksi anak didik sesuai dengan pesanan pihak yang membutuhkan. Para pemesan dari dunia pendidikan kita sebagian besar dari dunia industri yang kapitalistik. Akibat langsung dari kenyataan semacam ini adalah terjadinya pola-pola kapitalisme dalam dunia pendidikan. Hal ini tentu memprihatinkan. Sebab, dunia pendidikan semestinya menjadi wahana untuk menjadikan anak didik kembali atau senantiasa pada fitrahnya sebagai manusia yang tidak meninggalkan kemanusiaannya, akan tetapi justru terjebak dalam kapitalisme global yang menguntungkan sekelompok tertentu, satu di antaranya adalah para pemilik modal. Sungguh, pendidikan yang semacam ini tidak boleh diperpanjang demi kemanusiaan yang lebih baik di masa mendatang.

Dengan demikian, sudah saatnya untuk bersama-sama menyadari bahwa betapa pentingnya pendidikan berfungsi sebagai wahana untuk membangun kesadaran anak didik agar tetap menyadari kemanusiaannya. Pendidikan jangan sampai menjadi mesin industri sehingga menjadikan anak didiknya robot-robot kapitalisme. Sungguh, pemahaman seperti ini bukan berarti tidak pro dengan perkembangan teknologi dan industri yang memang berguna bagi kehidupan manusia modern. Akan tetapi, jangan sampai pendidikan menjadi mesin industri hingga melupakan untuk membangun kesadaran akan hakikat kemanusiaan.

 

Tuhan dan Agama: antara Benar – Salah

Standar

Kebanyakan orang pasti setidaknya samar-samar menyadari berapa banyak keanekaragaman ada dan telah di agama manusia sepanjang sejarah kita dan seluruh dunia. Saya tidak yakin, bagaimanapun, jika semua orang sepenuhnya menghargai semua implikasi yang keragaman ini dapat memiliki untuk kepercayaan agama yang mereka begitu khusyuk dan sungguh-sungguh terus untuk. Apakah mereka menyadari, misalnya, bahwa orang lain harus diadakan untuk keyakinan agama mereka seperti taat dan hanya sebagai sungguh-sungguh?

Satu masalah mungkin bahwa keragaman agama begitu banyak terletak pada masa lalu daripada sekarang. Agama dari masa lalu, bagaimanapun, cenderung diberi label “mitologi” daripada agama dan karena itu diberhentikan. Untuk mendapatkan gambaran tentang apa label yang berkonotasi kepada orang-orang hari ini, mengukur reaksi mereka ketika anda menjelaskan keyakinan Kristen, Yahudi, dan Muslim sebagai “mitologi.” Secara teknis itu deskripsi yang akurat, tapi untuk jadi “mitos” banyak orang adalah sinonim untuk “palsu,” dan dengan demikian bereaksi defensif ketika keyakinan agama mereka diberi label mitos.

Ini, kemudian, memberi kita ide yang baik tentang apa yang mereka pikirkan Norse, Mesir, Romawi, Yunani, dan mitologi lainnya: label sangat mereka adalah sinonim untuk “palsu” dan sehingga kita tidak bisa mengharapkan mereka untuk memberikan mereka keyakinan apapun yang serius pertimbangan. Faktanya, meskipun, bahwa penganut sistem kepercayaan tidak memperlakukan mereka serius. Kita dapat menggambarkan mereka sebagai agama, meskipun harus adil mereka sehingga semua mencakup bahwa mereka bisa pergi jauh di luar agama dan menjadi cara seluruh orang-orang hidup.

Tentu saja orang mengambil keyakinan mereka secara serius. Tentu saja orang kepercayaan ini diperlakukan sebagai hanya sebagai “benar” sebagai penganut modern agama seperti Kristen (yang berarti bahwa sebagian orang akan menganggap cerita sebagai lebih simbolis sementara yang lain akan membawa mereka lebih harfiah). Apakah orang-orang ini salah? Apakah keyakinan mereka yang salah? Hampir tidak hari ini orang percaya mereka, yang berarti hampir semua orang berpikir bahwa mereka tidak benar secara empiris. Namun pada saat yang sama, mereka benar-benar yakin akan kebenaran agama mereka sendiri.

Jika rasanya tidak adil untuk membandingkan Kristen mitologi Yunani, kita bisa membuat perbandingan yang lebih umum: monoteisme ke politeisme. Mungkin kebanyakan orang yang pernah hidup adalah pagan atau animis dari beberapa macam, bukan monoteis. Apakah mereka benar-benar semua salah? Apa yang membuat monoteisme lebih mungkin untuk menjadi kenyataan dari politeisme atau animisme?

Jelas ada adalah perbandingan yang kita dapat membuat dengan agama-agama kontemporer: orang-orang Yahudi tidak kurang saleh dari orang-orang Kristen, orang Kristen tidak kurang taat dari Islam dan penganut agama-agama Timur Tengah tidak lebih atau kurang taat dari penganut agama Asia, seperti Hindu dan Buddha. Mereka semua sama seperti yakin akan agama mereka sebagai yang lain. Ini sering mendengar argumen yang sama dari mereka semua untuk “kebenaran” dan “validitas” agama mereka.

Kita tidak bisa kredit salah satu agama, masa lalu atau sekarang, sebagai lebih kredibel dari yang lain hanya karena iman para penganutnya. Kita tidak bisa mengandalkan kemauan pengikut ‘untuk mati untuk iman mereka. Kita tidak bisa mengandalkan perubahan diklaim dalam kehidupan orang-orang atau pekerjaan baik yang mereka lakukan pada rekening agama mereka. Tak satu pun dari mereka memiliki argumen yang tegas unggul daripada yang lain. Tidak ada telah mendukung bukti empiris yang lebih kuat dari yang lain (dan setiap agama yang menekankan pada kebutuhan untuk “iman” tidak memiliki bisnis yang mencoba untuk membuat dirinya keluar menjadi unggul berdasarkan bukti empiris saja).

Jadi tidak ada internal agama-agama atau percaya mereka yang memungkinkan kita untuk memilih apapun yang superior. Itu berarti kita perlu beberapa standar independen yang memungkinkan kita untuk memilih satu, sama seperti kita menggunakan standar independen untuk memilih mobil yang lebih aman atau lebih kebijakan politik efektif. Sayangnya, tidak ada standar perbandingan yang menunjukkan bahwa setiap agama lebih unggul atau lebih mungkin benar daripada yang lain.

Mana yang meninggalkan kita? Yah, itu tidak membuktikan bahwa salah satu agama atau kepercayaan agama yang jelas salah. Apa yang dilakukan adalah memberitahu kita dua hal, yang keduanya sangat penting. Pertama, itu berarti bahwa klaim umum banyak atas nama agama tidak relevan ketika datang untuk mengevaluasi bagaimana mungkin agama adalah benar. Kekuatan iman penganut dan bagaimana orang-orang bersedia di masa lalu adalah untuk mati untuk agama hanya tidak peduli ketika datang ke pertanyaan apakah agama kemungkinan benar atau masuk akal untuk percaya sebagai benar.

Kedua, ketika kita melihat keragaman agama-agama besar kita harus menyadari bahwa mereka semua tidak kompatibel. Sederhananya: mereka tidak dapat semua benar, tetapi mereka semua bisa salah. Beberapa mencoba untuk berkeliling ini dengan mengatakan bahwa mereka semua mengajarkan “kebenaran yang lebih tinggi” yang kompatibel, tapi ini adalah polisi-out karena penganut agama-agama ini tidak hanya mengikuti dugaan ini “kebenaran yang lebih tinggi,” mereka mengikuti klaim empiris yang dibuat. Mereka klaim empiris semua agama tidak semua benar. Mereka bisa, bagaimanapun, semua salah.

Mengingat semua ini, apakah ada, baik suara, rasional, dasar memadai untuk singling hanya satu interpretasi dari satu set tradisi dari salah satu agama yang harus diperlakukan sebagai benar sementara semua yang lain diperlakukan sebagai palsu? Tidak. Ini bukan logis mustahil bahwa satu interpretasi dari satu tradisi dari satu agama sangat mungkin benar setelah semua, tetapi keragaman yang besar dari keyakinan berarti bahwa siapa pun yang mengklaim ini akan harus menunjukkan bahwa agama mereka yang dipilih adalah lebih tegas mungkin benar dan lebih kredibel dari yang lainnya. Itu tidak akan mudah dilakukan.

MAAF, Tuhan Telah Wafat

Standar

Melihat maraknya debat dan perseteruan sengit antar agama, maupun antar kelompok manusia mengatasnamakan “Tuhan” melalui agama, sungguh amat menyedihkan. Mereka tega saling membunuh dan menyakiti hanya lantaran “membela kebenaran” yg katanya difirmankan oleh “Tuhan”, entah melalui kitab suci, rasul, atau nabi mereka masing-masing. Sebenarnya, kalau mau ditelaah dengan jujur, konsep “kebenaran” atau bahkan konsep “Tuhan” dalam agama-agama sangat tidak obyektif, sehingga ada “benar” versi A, ada “Tuhan” versi B, dll.

Konsep “Tuhan” kemudian direduksi menjadi konsep “kebenaran”. Agama hanyalah kumpulan konsep-konsep tersebut. Oleh karena sudah diturunkan turun temurun, jarang ada orang mempermasalahkan hakiki dari konsep-konsep itu. Pihak ulama dengan seenaknya, sesuai dengan kepentingan mereka, melarang dan mengutuk usaha mempertanyakan “kebenaran” sejati dari apa-apa yg selama ini dianggap “suci” sehingga tabu dipertanyakan.

Menurut agama-agama, “Tuhan” sebagai sumber dari “kebenaran” adalah maha segalanya. Suatu konsep yang bagus seharusnya, tapi sayang, “Tuhan” dipersonifikasikan sebagai Yang Maha Positif saja: Maha Tahu, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dll. Walaupun tidak jarang, dalam kitab suci mereka, “Tuhan” bisa marah besar, menghukum, dan menciptakan neraka untuk penyiksaan yg amat jauh dari rasa kasih sayang. Konsep ini penuh kontradiksi, yang cenderung mendorong pengingkaran terhadap kenyataan. Padahal kenyataan adalah satu-satunya kebenaran sejati. Bagi siapa saja, di mana saja, kapan saja, kenyataan selalu menang, tak bisa diganggu gugat, termasuk oleh “Tuhan” agama-agama itu.

Kalau doa tak dikabulkan dikatakan sedang diuji. Kalau diterpa bencana alam dikatakan manusia sedang dalam ujian. Dalam pertikaian masing-masing pihak “membela Tuhan”-nya sekaligus minta “bantuan Tuhan”. Taliban yang yakin bahwa mereka “membela” dan “dibantu Tuhan” toh harus menghadapi kenyataan pahit. Bangsa Indonesia yang agamis, sehingga yakin akan “Tuhan” Yang Maha Pemurah, dengan doa-doa bertebaran, toh semakin banyak saja hutangnya menuju kebangkrutan. Alasan yg diberikan ulama adalah “Tuhan” hanya merestui orang yang berusaha, orang yang ikhlas, dll, nah, “Tuhan” ini kemudian diturunkan tingkat ke-“maha”-annya semau orang yang mengintepretasikannya.

Ujian yang tak ada habisnya, kenyataan pahit yang tak mungkin dihindari, “Tuhan” yg bisa bertingkah pilih-pilih, “Tuhan” yang terus membisu walau” pembelanya” sudah berusaha mati-matian, ini bertentangan dengan konsep “Tuhan” dalam agama-agama, yang kemudian harus”diselamatkan” oleh kaum ulama dengan alasan-alasan yang tidak logis. Konsep “setan” adalah salah satu usaha penyelamatan kaum ulama terhadap konsep “Tuhan” mereka. Sebenarnya konsep ini tidak menyelamatkan muka “Tuhan”, tapi justru mengecilkan ke-Maha-an “Tuhan” yang karena itu memiliki kompetitor dalam usaha mengambil hati manusia menjadi pengikutnya.

Tuhan sejati yang berkaitan langsung dengan kenyataan memang memiliki semua karakteristik Maha, seperti kosmos yang menunjukkan kebesarannya terhadap semua makhluk hidup. Kosmos memberi makan, memberi kenikmatan, keberhasilan, tapi juga kematian, kesengsaraan, kegagalan, bahkan kehancuran. Itulah wajah hakiki dari Tuhan yang Maha-Maha itu. Apanya yg mau dibela, apanya yang mau dipertentangkan. Semuanya sudah jelas dipertontonkan alam dalam kehidupan ini.

Orang mengenal Tuhan, kebenaran sejati, tidak perlu melalui ilusi yg diajarkan agama-agama, melalui “Tuhan” Maha Positif mereka. Contohnya, para ilmuwan sudah terbiasa mengenal Tuhan sejati melalui keilmuannya. Para astronom, fisikawan, kimiawan, ahli biologi, melalui kenyataan agung yang mereka pelajari, mulai dari sel-sel hidup, kode genetik, partikel subatomik, sampai kedahsyatan alam semesta, menyatakan takluk terhadap kebenaran sejati.

Kenetralan alam semesta adalah kebenaran sejati. Kasih dan benci juga bagian dari kebenaran sejati. Adalah suatu keunikan bagi umat manusia bahwa ia mempunyai alam pikir untuk memilih. Kesempatan memilih adalah kebenaran sejati bagi manusia. Memilih jalur kasih atau jalur kebencian jelas memiliki konsekuensi sendiri-sendiri, dimana “Tuhan” Maha Positif tidak akan ikut campur.

Boleh dikata seluruh umat manusia ingin hidup bahagia, nah ini perlu usaha. Adalah kenyataan sejati bila manusia lebih dekat ke kesengsaraan daripada kebahagiaan. Jangan harap menuai panen tanpa bersusah menanam. Jangan harap kaya tanpa tekun berusaha. Jangan harap jadi pandai tanpa belajar. Adalah kenyataan pula bahwa manusia seketika (tanpa usaha) bisa menjadi melarat, tertimpa bencana, sakit dan mati. Pendek kata, kesengsaraan adalah proses spontan, tapi kebahagian perlu dibangun dengan keringat.

Untuk bahagia perlu kedamaian, artinya hidup bahagia BERSAMA dengan orang lain. Kedamaian juga harus dibangun dengan kerja riel, tidak seperti lawannya, yaitu permusuhan, yang bisa dibuat dalam sekejap. Untuk memperoleh teman sejati tidak semudah mendapatkan musuh. Kata kunci perdamaian adalah KASIH. Tanpa kasih hidup tidak akan damai. Jadi semuanya konsekuensi logis dari keinginan manusia untuk hidup sejahtera. Tapi manusia bebas memilih, Tuhan sejati tidak akan pernah melarang, mau hidup dalam kebencian ya silakan, asal mau menerima konsekuensi tidak adanya kedamaian, dus tidak ada kebahagiaan sejati.

Konsep “Tuhan” Maha Positif bisa membantu umat mencapai kasih, asal bisa menghindari risiko bias menuju pengingkaran terhadap kenyataan sejati. Banyak orang yang berhasil, tapi juga tidak sedikit orang yang gagal. Dunia moderen yang serba mungkin sungguh menambah kompleksitas usaha peningkatan kualitas batin ini. Ilusi-ilusi seringkali menjerumuskan mereka yang salah memilih, dan “Tuhan” Maha Positif tidak bisa lagi diharapkan bantuannya.

Semuanya mengalir seperti air sungai menuju laut, alamiah. Mau melawannya? Mustahil, karena kenyataan selalu menang. Mau berdoa kepada “Tuhan” Maha Positif agar datang menolong? Maaf, “Tuhan-Tuhan” itu telah lama wafat.

Sistem Pendidikan Pasar, Cara Melawan Dan Solusinya

Standar

Pendidikan merupakan hal yang paling menentukan dalam kemajuan suatu bangsa, semakin maju pendidikan suatu bengsa, semakin maju pula bangsa tersebut.

sementara pendidikan suatu negara akan sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi-politikyang diterapkan oleh negara tersebut, dengan kata lain baik buruknya suatu sistem pendidikan akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan siapa yang bermain dalam pembuatan kebijakan pendidikan suatu negara.

Jika ideologi suatu negara tersebut adalah ideologi kapitalisme yang mengedepankan indiviualisme maka sistem pendidikannyapun akan diarahkan untuk itu, sebaliknya jika sistem ideologinya adalah sebuah ideologi kolektif yang mengedepankan kepentingan sosial diatas kepentingan individu maka sisitem pendidikannyapun akan diabdikan untuk kepentingan sosial.

Mari kita mulai melihat sistem pendidikan indonesia dan sebaiknya kita mulai dari mengkaji sejarah sistem pendidikan indonesia, karena dengan itu, kita akan melihat dengan terang kelemahan-kelemahan sistem pendidikan yang pernah diterapkan di masa lalu dan mencoba menawarkan solusi untuk itu. Agar kita tidak terjebak pada keslahan-pedalahan sejarah.

Mengungkap orientasi sistem pendidikan dalam Sejarah Pendidikan Indonesia

1. Awal perkenalan masyarakat indonesia pada sistem pendidikan fomal dan kebangkitan gerakan rakyat indonesia melawan kolialisme

Pergerakan kaum liberal di belanda akhirnya mengalami kemengannya, dengan merebut struktur kekuasaan negara monarki dan merubahnya menjadi struktur negara monarkhi parlementer (konstitusional).

Hal ini diakibatkan oleh semakin menguatnya tenaga-tenaga produktif (alat kerja dan tenaga erja) yang semula berbasis pertanian (dimana tanah dikuasai oleh kerajaan) manjadi sebuah negara yang yang berbasis industri yang banyak dikuasai oleh para pedagang borjuis yang berwatak liberal.

Pada akhirnya perubahan ini berakibat pada perbubahan mendasar di negeri nusantara, kaum borjuis yang telah berkuasa akhirnya merubah sistem kolinialnya di Hindia Belanda (Nusantara-Indonesia) dari sebuah sistem kolinal yang primitif menjadi sebuah sistem kolonial yang lebih modern yang menggunakan alat-alat modern (mesin-mesin) perbuahan tersebut tentunya membutuhkan tenaga ahli untuk menjalankannya. Disinilah kaum borjuis belanda menerapkan sebuah program yang di Indonesia disebut politik etis (politik balas budi)[2]. Sebuah program pemerintah kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja murah.

Salah satu isi dari program tersebut adalah bagaimana membekali masyarakat indonesia dengan pengetahuan secukupnya untuk dapat dipekerjakan di kantor-kantor (industri-industri milik borjuasi belanda) hindia belanda, disinilah pertama kali masyarakat indonesia mengnal pendidikan formil sekitar abad 20.

pendidikan pada masa kolonial ini sangat diskriminatif, yang dibolehkan bersekolah lebih tinggi adalah hanya anak-anak bangsawan saja. Sementara anak petani tidak dibolehkan untuk bersekolah lebih tinggi agar tenaga mereka dapat digunakan secepatnya untuk menjalankan mesin-mesin, selain untuk mencegah perlawanan dari anak petani yang selama ini ditindas dalam sistem kolonialisme yang mereka terapkan.

Sementara banyak diantara anak-anak bengsawan, yang disekolahkan ke negeri belanda, mereka inilah yang kemudian sadar dan membentuk babakan baru sejarah indonesia “babakan pergerakan rakyat indonesia”, mereka membentuk organisasi-organisasi, melakukan pengorganisiran massa, dan bahkan membuat sekolah-sekolah rakyat gratis untuk anak-anak petani, disini pulalah makna demokrasi, nasionalisme, dan kemerdekaan mulai diperdengarkan, yang pada akhirnya melahirkan banykanya pemberontakan-pemberontakan buruh dan tani yang dimulai dengan kemunculan serikat buruh salah satunya adalah ISDV (1949).

Sistem pendidikan yang selama ini dianggap akan memberikan keuntungan bagi belanda, akhirnya menjadi bumerang bagi pemerintahan kolonial hindia belanda.

Dieropa pada tahun 1939 perang dunia II meletus, fasisme jeraman menyerbu polandia, dan jepang mengusir pemerintahan belanda di Hindia Belanda. Babakan baru akhirnya dimulai. Pemerintahan belanda di ganti dengan kekuasaan militer fasis jepang.

Pada masa pemerintahan jepang di Indonesia, pendidikan diorientasikan pada pendidikan kemiliteran, ini bertujuan untuk mendapatkan tenaga perang untuk menghadapi perang dunia II, memang tujuan jepang menjajah hindia belanda hanya untuk menjadikan indonesia sebagai pengkalan militer di indonesia, dengan merekrut lebih banyak masyarakat indonesia manjadi militer dan merampas kekayaan alam indonesia untuk tentara-tentara jepang yang sedang menghadapi perang dunia II.

Kemunculan beberapa organisasi kemiliteran seperti PETA, HEIHO dll, menjadi buktinya. Sementara organisasi gerakan rakyat dilarang, meskipun masih ada beberapa organisasi gerakan rakyat yang bergerak di bawah tanah seperti Gerakan Anti-Fasis (GERAF) dan Gerakan Indonesia Merdeka (GERINDOM)

perjuangan gerakan yang melelahkan untuk merebut kemerdekaan, akhirnya mencapai puncaknya. Pada tanggal 16 agustus jepang akhirnya kalah terhadap sekutu yang didahului oleh jatuhnya bom di dua kota sekaligus yaitu kota Nagasaki dan Hiroshima di negara jepang.

Pada tanggal 17 agustus soekarno-hatta yang masih ragu-ragu, berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk segera memproklamirkan kemerdekaan indonesia. Sistem pemerintahan Berganti, berganti pula tujuan/ideologi negaranya, pada pemerintahan soekarno, skenario yang pertama kali dilakukan oleh soekarno dan kabinetnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan.

Agresi militer belanda I dan II yang berujung pada konferensi meja bundar, disertai dengan pemberontakan ke,merdekaan RI di beberapa daerah, dll mengakibatkan kebijakan negara harus mengambil tindakan ini. Ujungnya, penerapan dekrit yang salah satu pointnya adalah kemandirian ekonomi dengan menasionaslisasi aset asing (gerakan benteng) harus diterapkan. Kebijakan ini diambil selain untuk mengatasi perpecahan, juga karena pengaruh pemikiran blok timur yang pada wakti itu sedang berkonfli dengan blok timur.

Kebijakan ini akhrnya menrubah kebijakan pendidikan indonesia, kebijakan pendidikan yang diterapkan adalah kebijakan pendidikan yang diarahkan untuk memenuhi kemandirian ekonomi indonesia, sebuah kebijakan pendidikan yang mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat.

Akhirnya kebijakan ini, berimbas pada peningkatan sumber daya manusia yang dapat kita lihat dari banyaknya tenaga terdidik indonesia yang digunakan sebagai tenaga pendidik di negara lain. Juga semakin banyaknya para siswa dari negara lain yang datang bersekolah di Indonesia

2. Orde Baru dan kebijakan pendidikan pasar

Pertarungan blok timur dan blok barat untuk memperebutkan indonesia akhirnya berakhir, pada tahun 1965 terjadi pembumi hangusan gerakan kiri di indonesia yang dilakukan oleh kekuatan militer di bawah pimpinan soeharto yang dibantu oleh CIA kepntingan CIA adalah membuka pasar indonesia menjadi lebih liberal, agar modal mereka dapat bebas di Indonesia. Di indonesia, lapak sejarah tragis yang hari ini menuai kontroversi, disebut gerakan 30 september. Pergolakan ini pada akhirnya, menaikkan seorang militer ketampuk kekuasaan yaitu soeharto.

Kebijakan ekonomi pasar mulai diterapkan, modal-modal asing mulai antri dan membagi-bagi tiap lapak tanah kekayaan indonesia. Tapi satu kendala yang harus diselesaikan, yaitu kekuarngan tenaga ahli untuk menjalankan mesin-mesin baru hasil dari infestasi asing yang dilakukan. Untuk itu satu-satunya solusi untuk mengatasi kendala tersebut adalah mengubah sistem pendidikan menjadi sistem pendidikan yang mengabdi pada kepentingan investor asing (kebutuhan pasar tenaga erja). Yang tentunya merubah orientasi sistem pendidikan.

Pendidikan masa ini, tidak lagi berorientasi untuk memanusiakan masnusia, tapi berorantasi untuk menghasilkan tenaga buruh murah untuk dipekerjakan diindustri-industri baru hasil investasi asing. Di sini, pendidikan telah ditarik pada sifat keilmiahan sistem pendidikan, suatu hal yang paling penting dalam pembangunan sistem pendidikan. Para peserta didik tidak diperbolehkan mempelajari sesuatu hal yang tidak dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja. Sehingga banyak hal yang pada dasarnya dibutuhkan oleh para peserta didik untuk dipelajari malah dibuang dan tidak diajarkan karena dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja

Selain itu, sistem pendidikan Idnonesia dijadikan sebagai alat hegemoni negara, banyak pelajaran-pelajaran yang di ajarkan di institusi-institusi pendidikan indonesia yang bertujuan untuk menciptakan ketundukan terhadap negara. Ini berfungsi, selain untuk menjaga peserta didik agar tidak melawan pada tuan modal disaat mereka memasuki dunia kerja, juga untuk mencegah pemberontakan-pemberontakan yang akan dilakukan oleh kaum intelektual.

Diterapkanlah sistem pendidikan 12 tahun untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang hanya membutuhkan tenaga-tenaga lulusan sekolah dasar (SD). Dan sekolah-sekolah dasar ditambah jumlahnya yang saat ini dapat ita hitung bawa ditiap RT dapat kita temui sekolah-sekolah dasar yang dibuat sejak pemerintahan ORBA berkuasa.

Sementara, sekolah-sekolah mengengah pertama dikurangi jumlahnya (apalagi sekolah-sekolah menegah atas -SMA) dengan harga yang sangat mahal, hal ini merupakan kesengajaan, karena pasar kerja telah menunggu mereka, diharapkan setelah tamat SD tenaga didik tidak lagi melanjutkan sekolahnya ke SMP dan langsung memasuki dunia kerja.

Akibatnya, pengangguran tenaga terdidik semakin hari semakin bertambah, karena selain semakin majunya industri, yang tidak tidak lagi dapat terkejar oleh kurikulum pendidikan, membengkanya tenaga terdidik yang tidak seimbang dengan penambahan lapangan kerja semakin memperparah kondisi pengangguran.

Tapi pemerintah tidak kehabisan akal pemerintah kemudian menerapkan sebuah kebijakan baru, lulus belajar 9 tahun, untuk mengejar ketertinggalan kurikulum sistem pendidikan yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

Belum lagi dengan kebijakan pemerintah saat itu menerapkan NKK/BKK, yang menjauhkan mahasiswa pada persoalan-persoalan politik kemasyarakatan secara umum . Mengakibatkan mahasiswa dikampus-kampus harus gagap ketika mereka telah keluar dan bergaul dengan masyarakat.

Jika ditambah dengan orientasi sistem pendidikan yang tidak mengkaji tentang persoalan-persoalan umum masyarakat (tapi untuk kebutuhan pasar) dan cara menyelesaikannya maka maka lengkaplah sudah, pendidikan indonesia tidak lebih dari sistem pendidikan yang membodohi peserta didik saat itu.

Sistem pendidikan diformat sedemikian rupa untuk mengakomodasi kepentingan pengusaha dan penguasa. Bukan pendidikan yang dutjukan untuk bagaimana memberikan sumbangsih untuk memajukan kepentingan umum.

Pihak swastapun mulai melirik sistem pendidikan ini sebagai sebuah wadah untuk dapat memperkaya diri, dengan memanfaatkan ketidak mampuan pemerintah dalam menyediakan sekolah-sekolah mengengah, dan banyak diantara para siswa yang ingin melanjutkan sekolahnya ke sekolah yang lebih tinggi. pihak swastapun diberikan kesempatan untuk mendirikan sekolah-sekolah, dalam bentuk yayasan.

Institusi pendidikan swasta ini, memiliki kwalitas hasil didik yang sangat minim dengan biaya yang sangat mahal.

Sistem pendidikan hari ini (era reformasi), sebuah sistem pendidikan yang liberal

Sekali lagi, cermin sistem pendidikan akan mudah ditebak dari sistem ekonomi-politik yang diterapkan oleh negara tersebut, sistem pendidikan orde baru merupakan sistem pendidikan yang mengabdikan dan hidup dari investasi asing sehingga sistem pendidikannyapun diabdikan untuk itu.

hari ini, sistem pendidikan tetap diabdikan untuk itu, bedanya pada masa orde baru, negara masih mengabdi pada sistem ekonomi keynesian (sistem ekonomi kapitalis yang bersifat proteksionis, sebagai obat dari sistem ekonomi liberal), sementara sistem ekonomi yang diterapkan hari ini adalah sistem ekonomi kapitalis yang bersifat liberal baru (neo-liberal), dimana tidak boleh negara campur tangan pada wilaya ekonomi (mengedepankan kepentingan privat diatas kepentingan masyarakat)

tentunya, sistem pendidikan hari ini, tidak hanya dijadikan sebagai institusi untuk menghegemoni dan pencetak tenaga kerja produktif yang murah bagi kapitalis, tapi juga dijadikan sebagai alat untuk mengakumulasi modal.

Hal ini terutang dalam kesepakatan WTO yang memasukkan pendidikan dalam salah satu alat sektor perdagangan, bersama dua belas sektor lainnya, yaitu ; bisnis, komunikasi, konstruksi, distribusi, lingkungan, keuangan, kesehatan, turisme, rekreasi, transportasi dan jasa lainnya.

Ini merupakan kepentingan besar dari perusahaan-perusahaan penyedia jasa pendidikan internasional (mis : harvard university dll), yang juga ingin menanamkan modalnya di negara-negara dunia ketiga temasuk indonesia, sementara kita tahu salah satu watak kapital bahwa dia baru bisa hidup jika dia mampu menghancurkan saingan-saingannya, adakah saingan-saingan itu?

para perusahaan-perusahaan penyedia jasa pendidikan ini tentunya tidak ingin mengambil resiko, institusi pendidikan Idonesia akan sama posisinya dengan sektor-sektor lain bagi mereka seperti pertanian, industri perminyakan yang dikelola oleh pertamina dll, dia harus mau bersaingan dengan modal sendiri bukan dari negara.

Disinilah mengapa semua institusi pendidikan di Indonesia harus komersial, harus mandiri dan otonom.

kita dapat mengambil contoh dari beberapa perguruan tinggi negeri yang kini telah otonom dengan konsep Bada Hukum Milik Negara. Diakui bahwa fasilitas dari universitas-universitas yang elah BUMN tersebut dapat meningkat tapi untuk membiayai itu semua bersumber dari hasil memeras mahasiswa dan dosen.

Kita bisa melhat SPP universitas Indonesia telah meningkat dari tahun ketahun, data tahun 2004 telah mencapai dua juta rupiah persemesternya, sementara gaji donsen bahkan ada yang hanya empat ratus ribu rupiah/bulannya, sudah begitu, doosen-dosen ini merupakan dosen-dosen yang status kerjanya tidak jelas karena status kerja mereka kebanyakan kontrak.

Inilah sekelumit dari persolan pendidikan hari ini, sebuah konsep yang aturannya tengah digodok di DPR yaitu rancangan Undag-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan sebuah perwujudan dari liberalisasi pendidikan seperti yang dijelaskan diatas.

Sistem pendidikan ini, tentunya hanya mengejar keuntungan diatas kepentingan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena institusi pendidikan dipandang sebagai salah satu bentuk usaha yang dapat mendatangkan keuntungan.

Bagamana sistem pendidikan yang seharusnya?

kita telah mengurai secara singkat kondisi pendidikan Indonesia, permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, kini tiba saatnya kita mencari satu solusi terhadap permasalahan-permasalahannya. Sebuah sistem pendidikan yang nantinya akan lebih mampu memanusiakan manusia dan mampu berguna baik bagi peserta didik mupun untuk masyarakat Indonesia.

akan sangat terlalu dini untuk mengambil kesmpulan dan meletakkan sebuah dasar soluisi sistem pedidikan, akan tetapi kita dapat meniru beberapa sistem pendidikan yang telah diterapkan dibeberapa negara yang telah menerapkan sistem ekonomi-politik alternatif seperti Venezwela, Kuba dan lan-lain.

Atau degan cara membalik sistem pendidikan kita dan mencoba menerapkannya dalam setiap pendidikan organisasi-organisasi, maupun pendidikan rakyat yang bisa kita inisiasi sendiri.

Misalnya jika sistem pendidikan kita hari ini berorientasi untuk memenuhi pasar tenaga kerja, maka sistem pendidikan yang kita tawarkan adalah sistem pendidikan yang berorientasi untuk memakmurkan rakyat. Dimana sistem pendidikan di atur sedenikian rupa untuk dapat menjawab dan memecahkan fenomena yang terjadi dimasyarakat. Hal ini akan menjawab persoalan dimana keluaran-keluaran sistem pendidikan selama ini yang tidak mampu menjawab tantangan saman. Kadang-kadang apa yang diajarkan pada sebuah sistem pendidikan sangat jauh dari kenyataan lapangan.

Persoal Pembiayaan Pendidikan

Selama ini, sistem pendidikan dianggap oleh pemerintah sebagai beban ekonomi inilah sebabnya mengapa pemerintah akan menyerahkan sistem pendidikan kita kepada pihak swasta, selain karena paksaan dari pihak korporasi internsaional untuk segera melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendidikan.

Pembiayaan pendidikan , seharusnya dijadikan sebagai sebuah investasi bagi negara dalam bentuk sumber daya manusia yang akan dipetik hasilnya dalam bentuk peningkatan produktivitas ekonomi masyarakat.

untuk mengatasi persoalan pembiayaan, kita dapat menanggulanginya dengan subsidi silang yang dibayarkan oleh anak-anak kaya, yang dilakukan dengan menggunakan prosentase pendapatan bulanan orang tua, mirip dengan pajak progresif. Misalnya, rentang pendapatan sampai dengan Rp 1 juta per bulan dikenai 0,5% untuk pendidikan dasar; 1% untuk pendidikan menengah; dan 5% untuk pendidikan tinggi. Prosentase ini berlipat dua untuk rentang penghasilan bulanan Rp 1 juta sampai Rp 2 juta.