Tag Archives: Pendidikan

Pendidikan atau Mesin Industri

Standar

Zaman terus saja berputar. Konon, kini manusia telah memasuki peradaban modern yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi serta kemajuan industri untuk memenuhi segala kebutuhan manusia. Menghadapi zaman yang seperti ini, kebutuhan-kebutuhan manusia yang dahulu bisa dibilang sederhana saja, seperti sekadar makan, tempat tinggal, pakaian, atau kendaraan, kini detailnya menjadi bermacam-macam dan rumit. Manusia semakin dimudahkan dengan berbagai kecanggihan yang pada zaman dahulu tak pernah terbayangkan, namun juga dihadapkan pada banyak masalah yang tidak ringan.

Salah satu masalah penting yang dihadapi manusia adalah terjauhkannya dari aspek kemanusiaannya tatkala terlalu jauh masuk dalam kepentingan kapitalisme modern. Belum lagi adanya dominasi kekuatan besar yang ingin menguasai manusia pada umumnya untuk kepentingan kekuasaan ekonomi, politik, atau bahkan ideologi tertentu. Pada saat seperti ini, peran pendidikan diyakini penting untuk menjaga hakikat kemanusiaan agar tiada tergerus begitu saja atau membawa kembali kemanusiaan pada wilayah yang sesuai dengan fitrahnya. Jangan sampai kehidupan yang dianggap canggih justru membuat manusia kehilangan kebebasannya karena manusia telah diperlakukan dengan tidak adil sebagai sesama manusia oleh pihak yang lebih berkuasa.

Dalam sebuah bukunya yang berjudul Pendidikan Populer; Membangun Kesadaran Kritis, Mansour Fakih berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan ideologi dominan yang tengah berlaku di masyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu kehidupan masyarakat yang adil. Tugas yang penting ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil.

Namun, sayang sekali, pendidikan yang dianggap sebagai wahana penting untuk menjaga hakikat dari kemanusiaan ini justru menjadi mesin industri bagi kepentingan pasar. Pendidikan dalam banyak sisi justru melakukan proses peminggiran rasa kemanusiaan karena peserta didik diposisikan sebagai objek yang dikerahkan oleh perangkat pendidikan untuk dijadikan manusia-manusia yang siap pakai di dunia industri dan pasar global. Siap pakai yang dimaksudkan di sini tak ubahnya sebagai mekanik yang sesuai dengan keinginan pasar dan industri. Bila sudah begini, peserta didik akan berlaku tak ubah seperti robot-robot yang sudah tentu semakin terjauh dari kemanusiaannya. Inilah sebuah proses pembelajaran yang berorientasi pada pendidikan mekanistis-materialistis.

Proses pembelajaran yang sudah terpola untuk berorientasi pada pendidikan mekanistis-materialistis sesungguhnya akan sulit untuk mengarahkan pembentukan karakter pada diri anak didik yang kritis dalam menghadapi persoalan kehidupan. Hasil dari pendidikan seperti ini juga akan sulit untuk mempunyai kepekaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Padahal, mempunyai jiwa yang kritis dan peka terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat adalah manifestasi dari sebuah pribadi yang tercerahkan dan cerdas. Bila keadaan pendidikan sudah seperti ini, tentu peran pendidikan bukan mencerahkan manusia dan kembali kepada hakikat kemanusiaannya, melainkan justru membawanya menjauhi hakikat kemanusiaan.

Ciri utama dari pendidikan yang mekanistis-materialistis, jika ditinjau dari teori filsafat, materialisme diartikan sebagai paham yang menegasikan dimensi ruhiyah atau nilai-nilai spiritual. Dalam praktiknya, pendidikan yang seperti ini cenderung menekankan penguasaan materi-materi pengetahuan tanpa bobot moral-spiritual yang memadai. Sebagai akibatnya, pendidikan akhirnya dinilai gagal dalam membangun karakter manusia yang cerdas dan bermoral. Pendidikan tak ubahnya seperti mesin industri yang hanya menghasilkan lulusan yang siap untuk digunakan sesuai dengan kebutuhan dalam kehidupan modern.

Penekanan pendidikan sebagaimana tersebut biasanya hanya mengembangkan unsur kognitif daripada unsur afektif yang ada pada diri anak didik. Transformasi ilmu pengetahuan akhirnya hanyalah merupakan penjejalan beragam teori dan informasi atau tak jarang bersifat sangat mekanis. Jadi, tak ada penekanan untuk mengadakan internalisasi nilai-nilai di dalamnya. Praktik pendidikan yang demikian tentu jauh pula dari pengembangan cara berpikir yang kritis terhadap segala persoalan yang terjadi, apalagi menentang dengan mengembangkan sistem baru dalam mengatasi masalah kemanusiaan yang membelenggu.

Apabila orientasi utama pendidikan adalah memenuhi kebutuhan pasar semata maka lembaga pendidikan menjadi mesin industri yang siap memenuhi pesanan pasar. Anehnya, model pendidikan demikian yang sering dinilai sebagai pendidikan yang unggul dan bermutu. Lulusannya langsung dibutuhkan dan diserap oleh pasar yang sesungguhnya adalah kapitalisme global. Sungguh, bila pola pendidikan yang demikian tidak diubah, selamanya akan terjebak dengan kepentingan kapitalisme global yang kita semua tahu telah menjauhkan manusia dari fitrahnya.

Dunia pendidikan tidak lagi menjadi tempat untuk mendapatkan dan mengasah pencerahan, melainkan hanyalah laksana mesin industri yang siap memproduksi anak didik sesuai dengan pesanan pihak yang membutuhkan. Para pemesan dari dunia pendidikan kita sebagian besar dari dunia industri yang kapitalistik. Akibat langsung dari kenyataan semacam ini adalah terjadinya pola-pola kapitalisme dalam dunia pendidikan. Hal ini tentu memprihatinkan. Sebab, dunia pendidikan semestinya menjadi wahana untuk menjadikan anak didik kembali atau senantiasa pada fitrahnya sebagai manusia yang tidak meninggalkan kemanusiaannya, akan tetapi justru terjebak dalam kapitalisme global yang menguntungkan sekelompok tertentu, satu di antaranya adalah para pemilik modal. Sungguh, pendidikan yang semacam ini tidak boleh diperpanjang demi kemanusiaan yang lebih baik di masa mendatang.

Dengan demikian, sudah saatnya untuk bersama-sama menyadari bahwa betapa pentingnya pendidikan berfungsi sebagai wahana untuk membangun kesadaran anak didik agar tetap menyadari kemanusiaannya. Pendidikan jangan sampai menjadi mesin industri sehingga menjadikan anak didiknya robot-robot kapitalisme. Sungguh, pemahaman seperti ini bukan berarti tidak pro dengan perkembangan teknologi dan industri yang memang berguna bagi kehidupan manusia modern. Akan tetapi, jangan sampai pendidikan menjadi mesin industri hingga melupakan untuk membangun kesadaran akan hakikat kemanusiaan.

 

Sistem Pendidikan Pasar, Cara Melawan Dan Solusinya

Standar

Pendidikan merupakan hal yang paling menentukan dalam kemajuan suatu bangsa, semakin maju pendidikan suatu bengsa, semakin maju pula bangsa tersebut.

sementara pendidikan suatu negara akan sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi-politikyang diterapkan oleh negara tersebut, dengan kata lain baik buruknya suatu sistem pendidikan akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan siapa yang bermain dalam pembuatan kebijakan pendidikan suatu negara.

Jika ideologi suatu negara tersebut adalah ideologi kapitalisme yang mengedepankan indiviualisme maka sistem pendidikannyapun akan diarahkan untuk itu, sebaliknya jika sistem ideologinya adalah sebuah ideologi kolektif yang mengedepankan kepentingan sosial diatas kepentingan individu maka sisitem pendidikannyapun akan diabdikan untuk kepentingan sosial.

Mari kita mulai melihat sistem pendidikan indonesia dan sebaiknya kita mulai dari mengkaji sejarah sistem pendidikan indonesia, karena dengan itu, kita akan melihat dengan terang kelemahan-kelemahan sistem pendidikan yang pernah diterapkan di masa lalu dan mencoba menawarkan solusi untuk itu. Agar kita tidak terjebak pada keslahan-pedalahan sejarah.

Mengungkap orientasi sistem pendidikan dalam Sejarah Pendidikan Indonesia

1. Awal perkenalan masyarakat indonesia pada sistem pendidikan fomal dan kebangkitan gerakan rakyat indonesia melawan kolialisme

Pergerakan kaum liberal di belanda akhirnya mengalami kemengannya, dengan merebut struktur kekuasaan negara monarki dan merubahnya menjadi struktur negara monarkhi parlementer (konstitusional).

Hal ini diakibatkan oleh semakin menguatnya tenaga-tenaga produktif (alat kerja dan tenaga erja) yang semula berbasis pertanian (dimana tanah dikuasai oleh kerajaan) manjadi sebuah negara yang yang berbasis industri yang banyak dikuasai oleh para pedagang borjuis yang berwatak liberal.

Pada akhirnya perubahan ini berakibat pada perbubahan mendasar di negeri nusantara, kaum borjuis yang telah berkuasa akhirnya merubah sistem kolinialnya di Hindia Belanda (Nusantara-Indonesia) dari sebuah sistem kolinal yang primitif menjadi sebuah sistem kolonial yang lebih modern yang menggunakan alat-alat modern (mesin-mesin) perbuahan tersebut tentunya membutuhkan tenaga ahli untuk menjalankannya. Disinilah kaum borjuis belanda menerapkan sebuah program yang di Indonesia disebut politik etis (politik balas budi)[2]. Sebuah program pemerintah kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja murah.

Salah satu isi dari program tersebut adalah bagaimana membekali masyarakat indonesia dengan pengetahuan secukupnya untuk dapat dipekerjakan di kantor-kantor (industri-industri milik borjuasi belanda) hindia belanda, disinilah pertama kali masyarakat indonesia mengnal pendidikan formil sekitar abad 20.

pendidikan pada masa kolonial ini sangat diskriminatif, yang dibolehkan bersekolah lebih tinggi adalah hanya anak-anak bangsawan saja. Sementara anak petani tidak dibolehkan untuk bersekolah lebih tinggi agar tenaga mereka dapat digunakan secepatnya untuk menjalankan mesin-mesin, selain untuk mencegah perlawanan dari anak petani yang selama ini ditindas dalam sistem kolonialisme yang mereka terapkan.

Sementara banyak diantara anak-anak bengsawan, yang disekolahkan ke negeri belanda, mereka inilah yang kemudian sadar dan membentuk babakan baru sejarah indonesia “babakan pergerakan rakyat indonesia”, mereka membentuk organisasi-organisasi, melakukan pengorganisiran massa, dan bahkan membuat sekolah-sekolah rakyat gratis untuk anak-anak petani, disini pulalah makna demokrasi, nasionalisme, dan kemerdekaan mulai diperdengarkan, yang pada akhirnya melahirkan banykanya pemberontakan-pemberontakan buruh dan tani yang dimulai dengan kemunculan serikat buruh salah satunya adalah ISDV (1949).

Sistem pendidikan yang selama ini dianggap akan memberikan keuntungan bagi belanda, akhirnya menjadi bumerang bagi pemerintahan kolonial hindia belanda.

Dieropa pada tahun 1939 perang dunia II meletus, fasisme jeraman menyerbu polandia, dan jepang mengusir pemerintahan belanda di Hindia Belanda. Babakan baru akhirnya dimulai. Pemerintahan belanda di ganti dengan kekuasaan militer fasis jepang.

Pada masa pemerintahan jepang di Indonesia, pendidikan diorientasikan pada pendidikan kemiliteran, ini bertujuan untuk mendapatkan tenaga perang untuk menghadapi perang dunia II, memang tujuan jepang menjajah hindia belanda hanya untuk menjadikan indonesia sebagai pengkalan militer di indonesia, dengan merekrut lebih banyak masyarakat indonesia manjadi militer dan merampas kekayaan alam indonesia untuk tentara-tentara jepang yang sedang menghadapi perang dunia II.

Kemunculan beberapa organisasi kemiliteran seperti PETA, HEIHO dll, menjadi buktinya. Sementara organisasi gerakan rakyat dilarang, meskipun masih ada beberapa organisasi gerakan rakyat yang bergerak di bawah tanah seperti Gerakan Anti-Fasis (GERAF) dan Gerakan Indonesia Merdeka (GERINDOM)

perjuangan gerakan yang melelahkan untuk merebut kemerdekaan, akhirnya mencapai puncaknya. Pada tanggal 16 agustus jepang akhirnya kalah terhadap sekutu yang didahului oleh jatuhnya bom di dua kota sekaligus yaitu kota Nagasaki dan Hiroshima di negara jepang.

Pada tanggal 17 agustus soekarno-hatta yang masih ragu-ragu, berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk segera memproklamirkan kemerdekaan indonesia. Sistem pemerintahan Berganti, berganti pula tujuan/ideologi negaranya, pada pemerintahan soekarno, skenario yang pertama kali dilakukan oleh soekarno dan kabinetnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan.

Agresi militer belanda I dan II yang berujung pada konferensi meja bundar, disertai dengan pemberontakan ke,merdekaan RI di beberapa daerah, dll mengakibatkan kebijakan negara harus mengambil tindakan ini. Ujungnya, penerapan dekrit yang salah satu pointnya adalah kemandirian ekonomi dengan menasionaslisasi aset asing (gerakan benteng) harus diterapkan. Kebijakan ini diambil selain untuk mengatasi perpecahan, juga karena pengaruh pemikiran blok timur yang pada wakti itu sedang berkonfli dengan blok timur.

Kebijakan ini akhrnya menrubah kebijakan pendidikan indonesia, kebijakan pendidikan yang diterapkan adalah kebijakan pendidikan yang diarahkan untuk memenuhi kemandirian ekonomi indonesia, sebuah kebijakan pendidikan yang mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat.

Akhirnya kebijakan ini, berimbas pada peningkatan sumber daya manusia yang dapat kita lihat dari banyaknya tenaga terdidik indonesia yang digunakan sebagai tenaga pendidik di negara lain. Juga semakin banyaknya para siswa dari negara lain yang datang bersekolah di Indonesia

2. Orde Baru dan kebijakan pendidikan pasar

Pertarungan blok timur dan blok barat untuk memperebutkan indonesia akhirnya berakhir, pada tahun 1965 terjadi pembumi hangusan gerakan kiri di indonesia yang dilakukan oleh kekuatan militer di bawah pimpinan soeharto yang dibantu oleh CIA kepntingan CIA adalah membuka pasar indonesia menjadi lebih liberal, agar modal mereka dapat bebas di Indonesia. Di indonesia, lapak sejarah tragis yang hari ini menuai kontroversi, disebut gerakan 30 september. Pergolakan ini pada akhirnya, menaikkan seorang militer ketampuk kekuasaan yaitu soeharto.

Kebijakan ekonomi pasar mulai diterapkan, modal-modal asing mulai antri dan membagi-bagi tiap lapak tanah kekayaan indonesia. Tapi satu kendala yang harus diselesaikan, yaitu kekuarngan tenaga ahli untuk menjalankan mesin-mesin baru hasil dari infestasi asing yang dilakukan. Untuk itu satu-satunya solusi untuk mengatasi kendala tersebut adalah mengubah sistem pendidikan menjadi sistem pendidikan yang mengabdi pada kepentingan investor asing (kebutuhan pasar tenaga erja). Yang tentunya merubah orientasi sistem pendidikan.

Pendidikan masa ini, tidak lagi berorientasi untuk memanusiakan masnusia, tapi berorantasi untuk menghasilkan tenaga buruh murah untuk dipekerjakan diindustri-industri baru hasil investasi asing. Di sini, pendidikan telah ditarik pada sifat keilmiahan sistem pendidikan, suatu hal yang paling penting dalam pembangunan sistem pendidikan. Para peserta didik tidak diperbolehkan mempelajari sesuatu hal yang tidak dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja. Sehingga banyak hal yang pada dasarnya dibutuhkan oleh para peserta didik untuk dipelajari malah dibuang dan tidak diajarkan karena dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja

Selain itu, sistem pendidikan Idnonesia dijadikan sebagai alat hegemoni negara, banyak pelajaran-pelajaran yang di ajarkan di institusi-institusi pendidikan indonesia yang bertujuan untuk menciptakan ketundukan terhadap negara. Ini berfungsi, selain untuk menjaga peserta didik agar tidak melawan pada tuan modal disaat mereka memasuki dunia kerja, juga untuk mencegah pemberontakan-pemberontakan yang akan dilakukan oleh kaum intelektual.

Diterapkanlah sistem pendidikan 12 tahun untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang hanya membutuhkan tenaga-tenaga lulusan sekolah dasar (SD). Dan sekolah-sekolah dasar ditambah jumlahnya yang saat ini dapat ita hitung bawa ditiap RT dapat kita temui sekolah-sekolah dasar yang dibuat sejak pemerintahan ORBA berkuasa.

Sementara, sekolah-sekolah mengengah pertama dikurangi jumlahnya (apalagi sekolah-sekolah menegah atas -SMA) dengan harga yang sangat mahal, hal ini merupakan kesengajaan, karena pasar kerja telah menunggu mereka, diharapkan setelah tamat SD tenaga didik tidak lagi melanjutkan sekolahnya ke SMP dan langsung memasuki dunia kerja.

Akibatnya, pengangguran tenaga terdidik semakin hari semakin bertambah, karena selain semakin majunya industri, yang tidak tidak lagi dapat terkejar oleh kurikulum pendidikan, membengkanya tenaga terdidik yang tidak seimbang dengan penambahan lapangan kerja semakin memperparah kondisi pengangguran.

Tapi pemerintah tidak kehabisan akal pemerintah kemudian menerapkan sebuah kebijakan baru, lulus belajar 9 tahun, untuk mengejar ketertinggalan kurikulum sistem pendidikan yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

Belum lagi dengan kebijakan pemerintah saat itu menerapkan NKK/BKK, yang menjauhkan mahasiswa pada persoalan-persoalan politik kemasyarakatan secara umum . Mengakibatkan mahasiswa dikampus-kampus harus gagap ketika mereka telah keluar dan bergaul dengan masyarakat.

Jika ditambah dengan orientasi sistem pendidikan yang tidak mengkaji tentang persoalan-persoalan umum masyarakat (tapi untuk kebutuhan pasar) dan cara menyelesaikannya maka maka lengkaplah sudah, pendidikan indonesia tidak lebih dari sistem pendidikan yang membodohi peserta didik saat itu.

Sistem pendidikan diformat sedemikian rupa untuk mengakomodasi kepentingan pengusaha dan penguasa. Bukan pendidikan yang dutjukan untuk bagaimana memberikan sumbangsih untuk memajukan kepentingan umum.

Pihak swastapun mulai melirik sistem pendidikan ini sebagai sebuah wadah untuk dapat memperkaya diri, dengan memanfaatkan ketidak mampuan pemerintah dalam menyediakan sekolah-sekolah mengengah, dan banyak diantara para siswa yang ingin melanjutkan sekolahnya ke sekolah yang lebih tinggi. pihak swastapun diberikan kesempatan untuk mendirikan sekolah-sekolah, dalam bentuk yayasan.

Institusi pendidikan swasta ini, memiliki kwalitas hasil didik yang sangat minim dengan biaya yang sangat mahal.

Sistem pendidikan hari ini (era reformasi), sebuah sistem pendidikan yang liberal

Sekali lagi, cermin sistem pendidikan akan mudah ditebak dari sistem ekonomi-politik yang diterapkan oleh negara tersebut, sistem pendidikan orde baru merupakan sistem pendidikan yang mengabdikan dan hidup dari investasi asing sehingga sistem pendidikannyapun diabdikan untuk itu.

hari ini, sistem pendidikan tetap diabdikan untuk itu, bedanya pada masa orde baru, negara masih mengabdi pada sistem ekonomi keynesian (sistem ekonomi kapitalis yang bersifat proteksionis, sebagai obat dari sistem ekonomi liberal), sementara sistem ekonomi yang diterapkan hari ini adalah sistem ekonomi kapitalis yang bersifat liberal baru (neo-liberal), dimana tidak boleh negara campur tangan pada wilaya ekonomi (mengedepankan kepentingan privat diatas kepentingan masyarakat)

tentunya, sistem pendidikan hari ini, tidak hanya dijadikan sebagai institusi untuk menghegemoni dan pencetak tenaga kerja produktif yang murah bagi kapitalis, tapi juga dijadikan sebagai alat untuk mengakumulasi modal.

Hal ini terutang dalam kesepakatan WTO yang memasukkan pendidikan dalam salah satu alat sektor perdagangan, bersama dua belas sektor lainnya, yaitu ; bisnis, komunikasi, konstruksi, distribusi, lingkungan, keuangan, kesehatan, turisme, rekreasi, transportasi dan jasa lainnya.

Ini merupakan kepentingan besar dari perusahaan-perusahaan penyedia jasa pendidikan internasional (mis : harvard university dll), yang juga ingin menanamkan modalnya di negara-negara dunia ketiga temasuk indonesia, sementara kita tahu salah satu watak kapital bahwa dia baru bisa hidup jika dia mampu menghancurkan saingan-saingannya, adakah saingan-saingan itu?

para perusahaan-perusahaan penyedia jasa pendidikan ini tentunya tidak ingin mengambil resiko, institusi pendidikan Idonesia akan sama posisinya dengan sektor-sektor lain bagi mereka seperti pertanian, industri perminyakan yang dikelola oleh pertamina dll, dia harus mau bersaingan dengan modal sendiri bukan dari negara.

Disinilah mengapa semua institusi pendidikan di Indonesia harus komersial, harus mandiri dan otonom.

kita dapat mengambil contoh dari beberapa perguruan tinggi negeri yang kini telah otonom dengan konsep Bada Hukum Milik Negara. Diakui bahwa fasilitas dari universitas-universitas yang elah BUMN tersebut dapat meningkat tapi untuk membiayai itu semua bersumber dari hasil memeras mahasiswa dan dosen.

Kita bisa melhat SPP universitas Indonesia telah meningkat dari tahun ketahun, data tahun 2004 telah mencapai dua juta rupiah persemesternya, sementara gaji donsen bahkan ada yang hanya empat ratus ribu rupiah/bulannya, sudah begitu, doosen-dosen ini merupakan dosen-dosen yang status kerjanya tidak jelas karena status kerja mereka kebanyakan kontrak.

Inilah sekelumit dari persolan pendidikan hari ini, sebuah konsep yang aturannya tengah digodok di DPR yaitu rancangan Undag-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan sebuah perwujudan dari liberalisasi pendidikan seperti yang dijelaskan diatas.

Sistem pendidikan ini, tentunya hanya mengejar keuntungan diatas kepentingan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena institusi pendidikan dipandang sebagai salah satu bentuk usaha yang dapat mendatangkan keuntungan.

Bagamana sistem pendidikan yang seharusnya?

kita telah mengurai secara singkat kondisi pendidikan Indonesia, permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, kini tiba saatnya kita mencari satu solusi terhadap permasalahan-permasalahannya. Sebuah sistem pendidikan yang nantinya akan lebih mampu memanusiakan manusia dan mampu berguna baik bagi peserta didik mupun untuk masyarakat Indonesia.

akan sangat terlalu dini untuk mengambil kesmpulan dan meletakkan sebuah dasar soluisi sistem pedidikan, akan tetapi kita dapat meniru beberapa sistem pendidikan yang telah diterapkan dibeberapa negara yang telah menerapkan sistem ekonomi-politik alternatif seperti Venezwela, Kuba dan lan-lain.

Atau degan cara membalik sistem pendidikan kita dan mencoba menerapkannya dalam setiap pendidikan organisasi-organisasi, maupun pendidikan rakyat yang bisa kita inisiasi sendiri.

Misalnya jika sistem pendidikan kita hari ini berorientasi untuk memenuhi pasar tenaga kerja, maka sistem pendidikan yang kita tawarkan adalah sistem pendidikan yang berorientasi untuk memakmurkan rakyat. Dimana sistem pendidikan di atur sedenikian rupa untuk dapat menjawab dan memecahkan fenomena yang terjadi dimasyarakat. Hal ini akan menjawab persoalan dimana keluaran-keluaran sistem pendidikan selama ini yang tidak mampu menjawab tantangan saman. Kadang-kadang apa yang diajarkan pada sebuah sistem pendidikan sangat jauh dari kenyataan lapangan.

Persoal Pembiayaan Pendidikan

Selama ini, sistem pendidikan dianggap oleh pemerintah sebagai beban ekonomi inilah sebabnya mengapa pemerintah akan menyerahkan sistem pendidikan kita kepada pihak swasta, selain karena paksaan dari pihak korporasi internsaional untuk segera melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendidikan.

Pembiayaan pendidikan , seharusnya dijadikan sebagai sebuah investasi bagi negara dalam bentuk sumber daya manusia yang akan dipetik hasilnya dalam bentuk peningkatan produktivitas ekonomi masyarakat.

untuk mengatasi persoalan pembiayaan, kita dapat menanggulanginya dengan subsidi silang yang dibayarkan oleh anak-anak kaya, yang dilakukan dengan menggunakan prosentase pendapatan bulanan orang tua, mirip dengan pajak progresif. Misalnya, rentang pendapatan sampai dengan Rp 1 juta per bulan dikenai 0,5% untuk pendidikan dasar; 1% untuk pendidikan menengah; dan 5% untuk pendidikan tinggi. Prosentase ini berlipat dua untuk rentang penghasilan bulanan Rp 1 juta sampai Rp 2 juta.

Peningkatan Mutu Pendidikan di bawah Sistem Pasar?

Standar

Sistem Pendidikan nasional saat ini sudah dalam cengkeraman mekanisme pasar, hal ini bisa dibuktikan dengan semakin kuatnya dominasi swasta dalam pengelolaan pendidikan. Di lapangan politik, pemerintah maupun DPR sangat gencar menggoakan kebijakan perundang-undangan dan peraturan lainnya, untuk mempermudah pendidikan di lemparkan dalam mekanisme pasar. Namun, sebuah argumentasi sangat ganjal selalu di lemparkan oleh pemerintah, DPR, maupun intelektual pendukung neoliberalisme, bahwa dengan keterlibatan swasta dalam dunia pendidikan akan meningkatkan mutu (baca;kualitas) pendidikan nasional. Logikanya sangat sederhana, bahwa keterlibatan swasta akan memperbanyak modal dan secara simultan akan mendorong penyediaan fasilitas dan sarana-prasarana pendidikan yang modern. Rumus yang sama di berlakukan oleh seymour Lipset dalam teori demokrasi bahwa kualitas dan tingkat kemajuan demokrasi ditentukan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi dan kapasitas tekhnologi sebuah bangsa. Dengan memakai perincian Lipset, maka demokrasi hanya akan di temukan di negara-negara Industri maju dan masyarakat tehknologi tinggi di masa yang akan datang. Sedangkan demokrasi akan absen di negara-negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi rendah, dan kapasitas tekhnologi yang lemah pula.

Dari titik inilah perdebatan muncul dan mengemuka, soal korelasi dan hubungan saling mempengaruhi antara mekanisme pasar dan kualitas pendidikan. Jika memakai pendekatan pendukung Neoliberal, maka di temukan kesimpulan bahwa kebebasan ekonomi, pertumbuhan, dan hukum pasar akan memompa kualitas pendidikan. Pandangan ini telah menjadi common sense dalam masyarakat pendidikan Indonesia, termasuk kaum intelektual di Universitas yang membiarkan RUU BHP dan Perpres 77/tahun 2007 menggilas dunia pendidikan.

Pendidikan dan Hukum Pasar

Pendidikan harus memanusiakan manusia menurut Paulo Freire, sehingga output utama dari pendidikan adalah aspek penyadaran (conscientitation), dan kontribusi sosial (pengabdian). Pendidikan Manusia sesungguhnya oleh Freire adalah mereka yang menyadari dirinya ebagai aktor yang aktif, penentu dan bertanggung jawab terhadap segala peristiwa diri dalam keseluruhan peristiwa jagad raya. Dengan demikian, pendidikan adalah proyek humanisasi terhadap nasib kemanusiaan. Tujuan pemenuhan kebenaran dan menjawab tuntutan jaman sudah menjadi komitmen awal, ketika para filsuf mengajarkan betapa pentingnya pendidikan bagi umat manusia. Namun, di bawah sistem kapitalisme pendidikan akan dilemparkan dalam mekanisme pasar, dalam hal ini pendidikan hanya akan dijadikan instrumen untuk melipatgandakan capital. Ketika pendidikan sepenuhnya sudah dalam hukum pasar, maka tiga variabel yakni negara, masyarakat, dan industri akan memainkan peranan-peranan yang berbeda-beda. Negara tidak lagi mengurusi soal pembiayaan dan mobilisasi sumber daya untuk pendidikan, di sisi lain negara akan mempertahankan kepentingannya untuk tetap menanamkan stabilitas lewat indoktrinasi lembaga pendidikan.

Sedangkan Industri akan mengembangkan sayapnya, memperluas lahan-lahan untuk produksinya, dan memegang kendali atas orientasi pendidikan. Keterlibatan industri dalam pendidikan bukan hanya dalam aspet pelipatgandaan kapital tetapi juga berkepentingan terhadap output pendidikan berupa; mobilisasi tenaga kerja murah, dan hasil-hasil riset perguruan tinggi.

Dalam hukum pasar ada beberapa hal yang harus di cermati; Pertama pasar merupakan arena memperjualkan belikan komoditi, dalam hal ini adalah pendidikan. Metode transaksinya bisa beraneka ragam; bisa dengan cara tawar-menawar, mematok harga dasar di dipajang di komoditi tersebut, dan lain-lain. Kedua prinsip utama pasar adalah kompetisi bebas antara produsen dan konsumen, ataupun antara sesama konsumen dan sesama produsen. Dengan menyandarkan pada mekanisme pasar, maka nantinya masyarakat dan peserta didik akan bertransformasi menjadi konsumen, guru dan aparatus pendidikan menjadi agen/perangkat, sedangkan lembaga pendidikan yang dibelakangnya adalah korporasi bertindak sebagai produsen (pemilik modal). Ketiga kualitas sangat ditentukan oleh promosi dan kemasan, namun secara substantif belum tentu bermutu.

Tujuan pendidikan yang mulia sudah barang tentu akan berkontradiksi dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh pasar. Tidak ada jalan damai atau kolaborasi positif diantara keduanya, kecuali pasar akan tampil sebagai dominasi dan aktor utama yang menghisap dan menundukkan variabe lainnya. Lantas kita mau bertanya soal bagaimana kualitas pendidikannya?

Kualitas Pendidikan Ala Pasar

Pendukung Neoliberal tidak akan sanggup menyembunyikan tujuan utama mereka membiarkan pendidikan dalam mekanisme pasar. Situasi real pendidikan nasional saat ini menunjukkan bahwa pendidikan telah menjadi komoditi yang diperdagangkan. Dan memang sangat menggiurkan bagi pemilik modal mengingat bahwa Indonesia adalah pasar yang menguntungkan dengan penduduk yang berjumlah 200 juta lebih dan sekitar 102, 6 juta penduduk usia sekolah akan dijadikan pangsa pasar. Kembali kepersoalan mampukan sistem pendidikan pasar yang menjual peningkatan kualitas dan prasarana pendidikan akan memajukan kualitas pendidikan?

Jawabannya, jelas tidak! Alasannya sederhana; pertama mekanisme pasar telah menempatkan pendidikan sebagai komoditi yang hanya bisa diakses oleh konsumen yang memiliki kesanggupan. Dengan situasi ini, secara simultan sekolah juga telah melepaskan potensi dari peserta didik yang sebenarnya memiliki kesanggupan dan kecerdasan intelektual, namun oleh karena miskin akhirnya mereka di tolak oleh lembaga pendidikan. Kampus-kampus negeri berkualitas seperti UI, UGM, ITB, IPB dulunya memberlakukan seleksi yang ketat (SPMB atau UMPTN) terhadap calon mahasiswa. Sehingga yang masuk kekampus tersebut adalah benar-benar mahasiswa berkemanpual intelektual tinggi, meskipun mereka dari keluarga miskin (karena biaya pendidikan masih murah). Sekarang, orang-orang miskin meskipun memiliki kemampuan, tidak akan mendapatkan kesempatan masuk ke kampus–kampus tersebut karena biaya pendidikan makin mahal (mekanisme pasar—BHMN). Banyak jalur-jalur non seleksi yang dibuka oleh Universitas untuk menampung anak-anak orang kaya yang memiliki kemampuan ekonomi bisa membeli. Kedua di bawah syarat-syarat kepentingan korporasi, maka kurikulum pendidikan akan diabdikan untuk kepentingan sesaat (mendesak) pasar tenaga kerja. Misalnya, pembukaan jurusan atau mata kuliah akan disesuaikan dengan kebutuhan pasar bukan lagi berlandaskan pada penggalian pengetahuan secara mendalam dan saintis. Ketiga Orientasi pendidikan termasuk orientasi mahasiswa dan dosen akan bergeser untuk memenuhi kebutuhan pragmatis mereka. Seorang mahasiswa hanya akan menjadikan pendidikan sebagai syarat formal untuk memperoleh Ijazah, sedangkan dosen akan menganggap mengajar untuk mengejar profit bukan lagi pada pengabdian sosial. Keempat serbuan produk (alfa mart, KFC, dll) akan menumbuhkan budaya hedonisme dan konsumtif di massa mahasiswa. Kehidupan intelektual di kampus akan bergeser menjadi tidak ubahnya budaya di mall atau tempat-tempat hiburan.

Dan terakhir, membenarkan apa yang dikatakan oleh Ivan Illich bahwa pendidikan ala pasar hanya akan menjadikan manusia seperti robot-robot dan bahan eksperimen dunia industri. Ketika pendidikan diikat oleh kepentingan pasar, maka selanjutnya pendidikan akan kehilangan roh ilmiah, demokratis,dan keteguhan komitmen sosialnya. 

 Rudi Hartono: Pemerhati Dunia Pendidikan dan Ketua I EKSNAS Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)

Mimpi yang Terjual

Standar

Keceriaan terlihat jelas saat mereka menerima amplop berisikan kelulusan, belajar mereka selama 3 tahun seakan terbalaskan saat itu. Kelulusan bagi semua orang adalah hal yang membahagiakan, membanggakan dan patut disyukuri. Apa yang telah diperjuangkan selama beberapa tahun akhirnya terlewati dengan selamat. Kelulusan memang wajar untuk dirayakan, namun menjadi tidak wajar ketika dirayakan secara berlebihan.

Momen kelulusan sejak dulu hingga sekarang tidak dapat dilepaskan acara corat-coret baju dan konvoi di jalan raya sebagai bagian luapan kegembiraan yang seakan ingin menunjukan identitasnya bahwa mereka telah bisa dan mampu melewati hantu ujian nasional.  

Entah siapa yang memulai, budaya itu sehingga mendarah daging di benak siswa-siswi yang merayakan kelulusan. Layaknya budaya kuno yang diagung-agungkan. Cara perayaan tersebut selain mengganggu masyarakat dan memberi image buruk pada pelajar juga mencerminkan pendidikan yang tidak berkarakter. Baju yang mereka corat-coret sesungguhnya dibutuhkan oleh orang lain. Konvoi yang ugal-ugalan pasti mengganggu ketertiban umum, dan yang terjadi sekarang mengundang sinisme dari masyarakat. “ Mau apa habis lulus?”, “ Kalo jatuh rasain aja.”, “ Lulus nilai pas-pasan aja heboh.” Beberapa celoteh yang sering muncul dari masyarakat. Toh setelah mereka menyudahi selebrasi yang salah arah tersebut, mereka harus kembali pada kenyataan hidup, belum pasti mau dibawa kemana hidup selanjutnya.

Kelulusan hendaknya dimaknai secara tepat. Kelulusan baru satu tahap kecil menuju tahap yang lebih berat. Lebih baik melakukan selebrasi dengan hal-hal positif. Seperti dengan memberikan seragam sekolah kepada adik kelas, membagikan makanan untuk kaum dhuafa, dan aksi damai. Hal-hal tersebut akan lebih mendapat perhatian dari masyarakat. Terlebih lagi, akan mendapat doa atau restu yang baik dari masyarakat.

Kelulusan hendaknya tidak dimaknai sebatas budaya yang telah mengakar saja. Merayakan kelulusan bukanlah suatu larangan, namun perayaan yang dilakukan hendaknya dapat membawa efek positif bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

proses pendidikan atau proses pembelajaran adalah bukan sesuatu yang bisa diukur dengan selembar kertas. Proses pendidikan adalah proses membantu membentuk seseorang menjadi manusia seutuhnya, dalam pengertian sederhana mengenalinya diri sendiri, siapa saya, apa kebisaan saya, apa kelemahan saya, dan apa potensi diri saya.

Kenyataannya, selama ini, hal itu tidak pernah terjadi, yang terjadi justru sebaliknya. Peserta didik selama ini hanya dibimbing dan dinilai dengan fokus angka-angka-angka ulangan, rapor, NEM, IP Apapun nama dan istilahnya, tetaplah mereka hanya angka-angka yang tidak merepresentasi proses menemukan diri tersebut

Masyarakat kita saat ini memang terjebak dalam lomba mengejar ijazah, mengejar gelar, yang akhirnya adalah semata-mata mengejar status. Sudah tidak ada lagi pengertian belajar untuk membangun kemampuan / kompetensi diri untuk berkarya menghasilkan sesuatu, memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Yang ada adalah mencari ijazah untuk bekal bekerja. Timbul pertanyaan lagi, bukankah untuk hidup orang harus bekerja? Bisa ya, bisa juga tidak. Ini terjadi karena pemahaman makna hidup sekarang begitu sempit, dan memang masyarakat kita terjebak dalam pragmatisme yang demikian, belajar untuk bekerja.

Bisa kita amati begitu banyak institusi pendidikan yang mempromosikan programnya pendidikannya untuk menghasilkan lulusan siap kerja. Lalu apa yang bisa kita amati setelah sekian lama masyarakat kita ini dibangun sebagai pasukan siap kerja? Hasilnya adalah ketergantungan dan ketidak-mandirian yang luar biasa dari tingkat pribadi, masyarakat, bahkan negara sekalipun. Tidak sulit mencari jawaban kenapa negara kita tidak berhasil keluar dari krisis selama ini. Negara dengan potensi sumber daya yang begitu luar biasa. Sederhana saja, karena selama ini, masyarakat kita tidak dibentuk menjadi manusia, tetapi difabrikasi menjadi robot. Di ‘pabrik’nya, sejak seorang anak masuk sekolah hingga universitas pada saat mahasiswa, anak-anak kita hanya semata-mata deprogram, diisi hafalan ilmu pengetahuan, rumus dan teori. Setelah selesai, tanpa operator, tanpa kendali dari luar, si robot hanya bisa diam tidak bergerak.

Sebenarnya yang seharusnya diperoleh anak adalah pengembangan kemampuan untuk belajar. Dimana anak mulai dikenalkan dengan dunia yang harus dieksplorasinya di kemudian hari lewat cara-cara yang sederhana. Dimana anak harus dibangun minatnya untuk bertanya, untuk berpikir kritis, untuk menggali dan mencari tahu tentang lingkungannya. Untuk dibangun minatnya terhadap dunia keilmuan, tentang teknologi sederhana, tentang sains, tentang bahasa dan musik, tentang lingkungan sosialnya. Dan semua ini tidak mungkin dilakukan lewat penjejalan ilmu pengetahuan dari buku-buku paket yang diterima anak sejak dia mulai duduk di bangku sekolah. Bagaimana mungkin minat belajar, kemampuan anak belajar bisa tumbuh apabila alam lingkungan dia yang begitu luar biasa direduksi hanya dalam lembaran-lembaran buku pelajaran yang begitu menyederhanakan dan memilah-milah situasi dunia nyata dimana anak hidup dari hari ke hari. Dimana pelajaran di sekolah, di dalam kelas begitu mengambil jarak dari kenyataan hidupnya sehari-hari. Sekolah akhirnya jadi penjara yang membosankan, membunuh potensi dan antusiasme anak terhadap dunia keilmuan, karena memang tidak bermakna untuk hidupnya sehari-hari. Bayangkan kondisi ini berjalan bertahun-tahun sampai anak menginjak dunia universitas. Bagaimana mungkin anak bisa tumbuh menjadi seorang intelektual yang punya semangat untuk menggali dan mengeksplorasi dunia keilmuannya, bila sudah terpatri bahwa belajar adalah demikian adanya, membosankan dan tidak bermakna. Bahwa belajar adalah memang untuk mencari nilai dan memperoleh tanda kelulusan jika hanya itu, sebenarnya baru dimulainya kehidupannya nyata mereka 1 detik setalah pengumuman kelulusan, maka yang terjadi adalah penciptaan baru manusia-manusia robot atau budak-budak modern. Belajar tanpa sebuah proses kesadaran hanya akan menciptakan budak – budak baru yang hanya selesai ketika lulus dan bekerja.


Benar, salah atau sesat menurut logika

Standar


Kebenaran logis, adalah suatu kebenaran yang menunjukkan kesesuaian dari akal atau budi dengan barang-barang, artinya sesuai dengan kebenaran ontologis dari barang-barang itu. Atau dengan kata lain cocoknya pengertian dengan barang-barang yang dimengerti, artinya apabila penilaian kita sesuai dengan keadaan yang nyata ada (Mundiri, 1994; Hadi, S. 2008). Jadi, menurut logika sesuatu itu ‘benar’ jika sesuatu yang dikatakan itu sesuai dengan akal pikiran sehat dan betul-betul nyata adanya (data empirik) dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga sebaliknya sesuatu itu ‘salah’, jika sesuatu itu tidak sahih atau tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika dan tidak nyata ada dalam kehidupan sehari-hari. Dalam studi logika sesuatu yang ‘salah’ bisa dikatakan sebagai ‘sesat pikir’ atau sesat. Sesat pikir (fallacy), adalah ‘kekeliruan penalaran yang disebabkan oleh pengambilan kesimpulan yang tidak sahih dengan melanggar ketentuan-ketentuan berpikir logis, objektif dan rasional’ (Hutabarat, A.B., 1967).
Menurut Papar J.H. (1996), bahwa pada umumnya ‘sesat pikir’ dapat dibagi ke dalam tiga jenis, antara lain:
Sesat pikir karena bahasa.

Sesat pikir karena bahasa bisa disebabkan karena: (1) menggunakan term ekuivokal, yaitu term yang memiliki makna ganda, misalnya kata ‘jarak’ bisa bermakna ‘ukuran jauh dekat’, bisa juga bermakna nama sebuah ‘pohon atau tanaman’ yang buah bijinya bisa dipakai bahan minyak; (2) menggunakan term metaforis, yaitu kata yang digunakan bukan dalam arti yang sebenarnya, misalnya ‘guru pahlawan tanpa jasa’; (3) menggunakan aksen yang membedakan arti suatu kata, artinya penggunaan kata yang sama tetapi aksennya (penekanan dalam ucapan) dirubah, misalnya kata ‘apel’, bisa bermakna ‘buah apel’ bisa juga bermakna ‘apel upacara’; (4) menggunakan konstruksi kalimat bermakna ganda (amphiboly), hal ini terjadi apabila suatu kalimat disusun itu bisa menghasilkan penafsiran ganda, misalnya, ‘direktur perusahan ‘X’ korupsi, demikian juga bawahannya’ (kata ‘bawahannya’ bisa tidak jelas, karena bawahannya jamak).

Sesat pikir formal

Sesat pikir formal terjadi karena melanggar kaidah-kaidah penalaran (berlogika) secara sahih. Ada empat jenis sesat pikir formal, antara lain: (1) sesat pikir empat term (fallacy of four terms), yaitu apabila suatu bentuk silogisme itu terdapat empat term, padahal semestinya silogisme itu terdiri dari tiga term; (2) sesat pikir proses tidak sah (fallacy of illicit prosess), yaitu sesat pikir yang terjadi karena term premis tidak berdistribusi tetapi term koalisi berdistribusi. Hal ini bertentangan ketentuan keempat mengenai term-term silogisme; (3) sesat pikir term tengah tak berdistribusi (fallacy of undistributed middle), yaitu sesat pikir terjadi karena term tengah tidak berdistribusi, padahal untuk memperoleh kongklusi yang benar term tengah sekurang-kurangnya satu kali berdistribusi; dan (4) sesat pikir dua premis negatif (fallacy of two negative premises), artinya sesat pikir yang terjadi karena menarik dari dua kesimpulan negatif, padahal dari dua premis negatif itu tidak dapat ditarik.

Sesat pikir material.

Sesat pikir material adalah sesat pikir yang terjadi bukan karena bahasa penalarannya yang salah, melainkan isi (materi) penalarannya yang salah. Ada tujuh macam sesat pikir material, antara lain: (1) argumen terhadap orangnya, artinya sesat pikir karena argumentasi yang diberikan tidak fokus ke persoalan yang dibahas, melainkan fokus atau menyerang pada pribadi orang menjadi lawan bicara; (2) argumentasi untuk mempermalukan, artinya sesat pikir karena argumentasi yang diberikan tidak fokus ke persoalan yang dibahas, melainkan ditujukan untuk mempermalukan orang yang menjadi lawan bicara; (3) argumentasi berdasarkan kewibaaan, artinya argumentasi tentang sesuatu yang disampaikan orang lain dikaitkan dengan status orang yang bicara, misalnya ‘ide itu bagus karena disampaikan oleh seorang pemimpn terkenal dan kharismatik’; (4) argumentasi ancaman, artinya argumentasi ancaman untuk mendesak orang lain menerima pandangan tertentu, bila tidak menerima akan membahayakan dirinya; (5) argumentasi belas kasihan, artinya argumentasi itu untuk membangkitkan rasa belas kasihan pada lawan bicara untuk tujuan tertentu; (6) argumnetasi demi rakyat, artinya argumentasi yang bertujuan untuk menghasut rakyat, atau berlindung di balik kepentingan rakyat, padahal sejatinya untuk ambisi pribadi; (7) argumentasi ketidaktahuan, artinya argumentasi yang mengatakan ‘bahwa sesuatu itu tidak pernah ada karena saya atau kita tidak mengetahuinya’.