Tag Archives: agama

Tuhan dan Agama: antara Benar – Salah

Standar

Kebanyakan orang pasti setidaknya samar-samar menyadari berapa banyak keanekaragaman ada dan telah di agama manusia sepanjang sejarah kita dan seluruh dunia. Saya tidak yakin, bagaimanapun, jika semua orang sepenuhnya menghargai semua implikasi yang keragaman ini dapat memiliki untuk kepercayaan agama yang mereka begitu khusyuk dan sungguh-sungguh terus untuk. Apakah mereka menyadari, misalnya, bahwa orang lain harus diadakan untuk keyakinan agama mereka seperti taat dan hanya sebagai sungguh-sungguh?

Satu masalah mungkin bahwa keragaman agama begitu banyak terletak pada masa lalu daripada sekarang. Agama dari masa lalu, bagaimanapun, cenderung diberi label “mitologi” daripada agama dan karena itu diberhentikan. Untuk mendapatkan gambaran tentang apa label yang berkonotasi kepada orang-orang hari ini, mengukur reaksi mereka ketika anda menjelaskan keyakinan Kristen, Yahudi, dan Muslim sebagai “mitologi.” Secara teknis itu deskripsi yang akurat, tapi untuk jadi “mitos” banyak orang adalah sinonim untuk “palsu,” dan dengan demikian bereaksi defensif ketika keyakinan agama mereka diberi label mitos.

Ini, kemudian, memberi kita ide yang baik tentang apa yang mereka pikirkan Norse, Mesir, Romawi, Yunani, dan mitologi lainnya: label sangat mereka adalah sinonim untuk “palsu” dan sehingga kita tidak bisa mengharapkan mereka untuk memberikan mereka keyakinan apapun yang serius pertimbangan. Faktanya, meskipun, bahwa penganut sistem kepercayaan tidak memperlakukan mereka serius. Kita dapat menggambarkan mereka sebagai agama, meskipun harus adil mereka sehingga semua mencakup bahwa mereka bisa pergi jauh di luar agama dan menjadi cara seluruh orang-orang hidup.

Tentu saja orang mengambil keyakinan mereka secara serius. Tentu saja orang kepercayaan ini diperlakukan sebagai hanya sebagai “benar” sebagai penganut modern agama seperti Kristen (yang berarti bahwa sebagian orang akan menganggap cerita sebagai lebih simbolis sementara yang lain akan membawa mereka lebih harfiah). Apakah orang-orang ini salah? Apakah keyakinan mereka yang salah? Hampir tidak hari ini orang percaya mereka, yang berarti hampir semua orang berpikir bahwa mereka tidak benar secara empiris. Namun pada saat yang sama, mereka benar-benar yakin akan kebenaran agama mereka sendiri.

Jika rasanya tidak adil untuk membandingkan Kristen mitologi Yunani, kita bisa membuat perbandingan yang lebih umum: monoteisme ke politeisme. Mungkin kebanyakan orang yang pernah hidup adalah pagan atau animis dari beberapa macam, bukan monoteis. Apakah mereka benar-benar semua salah? Apa yang membuat monoteisme lebih mungkin untuk menjadi kenyataan dari politeisme atau animisme?

Jelas ada adalah perbandingan yang kita dapat membuat dengan agama-agama kontemporer: orang-orang Yahudi tidak kurang saleh dari orang-orang Kristen, orang Kristen tidak kurang taat dari Islam dan penganut agama-agama Timur Tengah tidak lebih atau kurang taat dari penganut agama Asia, seperti Hindu dan Buddha. Mereka semua sama seperti yakin akan agama mereka sebagai yang lain. Ini sering mendengar argumen yang sama dari mereka semua untuk “kebenaran” dan “validitas” agama mereka.

Kita tidak bisa kredit salah satu agama, masa lalu atau sekarang, sebagai lebih kredibel dari yang lain hanya karena iman para penganutnya. Kita tidak bisa mengandalkan kemauan pengikut ‘untuk mati untuk iman mereka. Kita tidak bisa mengandalkan perubahan diklaim dalam kehidupan orang-orang atau pekerjaan baik yang mereka lakukan pada rekening agama mereka. Tak satu pun dari mereka memiliki argumen yang tegas unggul daripada yang lain. Tidak ada telah mendukung bukti empiris yang lebih kuat dari yang lain (dan setiap agama yang menekankan pada kebutuhan untuk “iman” tidak memiliki bisnis yang mencoba untuk membuat dirinya keluar menjadi unggul berdasarkan bukti empiris saja).

Jadi tidak ada internal agama-agama atau percaya mereka yang memungkinkan kita untuk memilih apapun yang superior. Itu berarti kita perlu beberapa standar independen yang memungkinkan kita untuk memilih satu, sama seperti kita menggunakan standar independen untuk memilih mobil yang lebih aman atau lebih kebijakan politik efektif. Sayangnya, tidak ada standar perbandingan yang menunjukkan bahwa setiap agama lebih unggul atau lebih mungkin benar daripada yang lain.

Mana yang meninggalkan kita? Yah, itu tidak membuktikan bahwa salah satu agama atau kepercayaan agama yang jelas salah. Apa yang dilakukan adalah memberitahu kita dua hal, yang keduanya sangat penting. Pertama, itu berarti bahwa klaim umum banyak atas nama agama tidak relevan ketika datang untuk mengevaluasi bagaimana mungkin agama adalah benar. Kekuatan iman penganut dan bagaimana orang-orang bersedia di masa lalu adalah untuk mati untuk agama hanya tidak peduli ketika datang ke pertanyaan apakah agama kemungkinan benar atau masuk akal untuk percaya sebagai benar.

Kedua, ketika kita melihat keragaman agama-agama besar kita harus menyadari bahwa mereka semua tidak kompatibel. Sederhananya: mereka tidak dapat semua benar, tetapi mereka semua bisa salah. Beberapa mencoba untuk berkeliling ini dengan mengatakan bahwa mereka semua mengajarkan “kebenaran yang lebih tinggi” yang kompatibel, tapi ini adalah polisi-out karena penganut agama-agama ini tidak hanya mengikuti dugaan ini “kebenaran yang lebih tinggi,” mereka mengikuti klaim empiris yang dibuat. Mereka klaim empiris semua agama tidak semua benar. Mereka bisa, bagaimanapun, semua salah.

Mengingat semua ini, apakah ada, baik suara, rasional, dasar memadai untuk singling hanya satu interpretasi dari satu set tradisi dari salah satu agama yang harus diperlakukan sebagai benar sementara semua yang lain diperlakukan sebagai palsu? Tidak. Ini bukan logis mustahil bahwa satu interpretasi dari satu tradisi dari satu agama sangat mungkin benar setelah semua, tetapi keragaman yang besar dari keyakinan berarti bahwa siapa pun yang mengklaim ini akan harus menunjukkan bahwa agama mereka yang dipilih adalah lebih tegas mungkin benar dan lebih kredibel dari yang lainnya. Itu tidak akan mudah dilakukan.

MAAF, Tuhan Telah Wafat

Standar

Melihat maraknya debat dan perseteruan sengit antar agama, maupun antar kelompok manusia mengatasnamakan “Tuhan” melalui agama, sungguh amat menyedihkan. Mereka tega saling membunuh dan menyakiti hanya lantaran “membela kebenaran” yg katanya difirmankan oleh “Tuhan”, entah melalui kitab suci, rasul, atau nabi mereka masing-masing. Sebenarnya, kalau mau ditelaah dengan jujur, konsep “kebenaran” atau bahkan konsep “Tuhan” dalam agama-agama sangat tidak obyektif, sehingga ada “benar” versi A, ada “Tuhan” versi B, dll.

Konsep “Tuhan” kemudian direduksi menjadi konsep “kebenaran”. Agama hanyalah kumpulan konsep-konsep tersebut. Oleh karena sudah diturunkan turun temurun, jarang ada orang mempermasalahkan hakiki dari konsep-konsep itu. Pihak ulama dengan seenaknya, sesuai dengan kepentingan mereka, melarang dan mengutuk usaha mempertanyakan “kebenaran” sejati dari apa-apa yg selama ini dianggap “suci” sehingga tabu dipertanyakan.

Menurut agama-agama, “Tuhan” sebagai sumber dari “kebenaran” adalah maha segalanya. Suatu konsep yang bagus seharusnya, tapi sayang, “Tuhan” dipersonifikasikan sebagai Yang Maha Positif saja: Maha Tahu, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dll. Walaupun tidak jarang, dalam kitab suci mereka, “Tuhan” bisa marah besar, menghukum, dan menciptakan neraka untuk penyiksaan yg amat jauh dari rasa kasih sayang. Konsep ini penuh kontradiksi, yang cenderung mendorong pengingkaran terhadap kenyataan. Padahal kenyataan adalah satu-satunya kebenaran sejati. Bagi siapa saja, di mana saja, kapan saja, kenyataan selalu menang, tak bisa diganggu gugat, termasuk oleh “Tuhan” agama-agama itu.

Kalau doa tak dikabulkan dikatakan sedang diuji. Kalau diterpa bencana alam dikatakan manusia sedang dalam ujian. Dalam pertikaian masing-masing pihak “membela Tuhan”-nya sekaligus minta “bantuan Tuhan”. Taliban yang yakin bahwa mereka “membela” dan “dibantu Tuhan” toh harus menghadapi kenyataan pahit. Bangsa Indonesia yang agamis, sehingga yakin akan “Tuhan” Yang Maha Pemurah, dengan doa-doa bertebaran, toh semakin banyak saja hutangnya menuju kebangkrutan. Alasan yg diberikan ulama adalah “Tuhan” hanya merestui orang yang berusaha, orang yang ikhlas, dll, nah, “Tuhan” ini kemudian diturunkan tingkat ke-“maha”-annya semau orang yang mengintepretasikannya.

Ujian yang tak ada habisnya, kenyataan pahit yang tak mungkin dihindari, “Tuhan” yg bisa bertingkah pilih-pilih, “Tuhan” yang terus membisu walau” pembelanya” sudah berusaha mati-matian, ini bertentangan dengan konsep “Tuhan” dalam agama-agama, yang kemudian harus”diselamatkan” oleh kaum ulama dengan alasan-alasan yang tidak logis. Konsep “setan” adalah salah satu usaha penyelamatan kaum ulama terhadap konsep “Tuhan” mereka. Sebenarnya konsep ini tidak menyelamatkan muka “Tuhan”, tapi justru mengecilkan ke-Maha-an “Tuhan” yang karena itu memiliki kompetitor dalam usaha mengambil hati manusia menjadi pengikutnya.

Tuhan sejati yang berkaitan langsung dengan kenyataan memang memiliki semua karakteristik Maha, seperti kosmos yang menunjukkan kebesarannya terhadap semua makhluk hidup. Kosmos memberi makan, memberi kenikmatan, keberhasilan, tapi juga kematian, kesengsaraan, kegagalan, bahkan kehancuran. Itulah wajah hakiki dari Tuhan yang Maha-Maha itu. Apanya yg mau dibela, apanya yang mau dipertentangkan. Semuanya sudah jelas dipertontonkan alam dalam kehidupan ini.

Orang mengenal Tuhan, kebenaran sejati, tidak perlu melalui ilusi yg diajarkan agama-agama, melalui “Tuhan” Maha Positif mereka. Contohnya, para ilmuwan sudah terbiasa mengenal Tuhan sejati melalui keilmuannya. Para astronom, fisikawan, kimiawan, ahli biologi, melalui kenyataan agung yang mereka pelajari, mulai dari sel-sel hidup, kode genetik, partikel subatomik, sampai kedahsyatan alam semesta, menyatakan takluk terhadap kebenaran sejati.

Kenetralan alam semesta adalah kebenaran sejati. Kasih dan benci juga bagian dari kebenaran sejati. Adalah suatu keunikan bagi umat manusia bahwa ia mempunyai alam pikir untuk memilih. Kesempatan memilih adalah kebenaran sejati bagi manusia. Memilih jalur kasih atau jalur kebencian jelas memiliki konsekuensi sendiri-sendiri, dimana “Tuhan” Maha Positif tidak akan ikut campur.

Boleh dikata seluruh umat manusia ingin hidup bahagia, nah ini perlu usaha. Adalah kenyataan sejati bila manusia lebih dekat ke kesengsaraan daripada kebahagiaan. Jangan harap menuai panen tanpa bersusah menanam. Jangan harap kaya tanpa tekun berusaha. Jangan harap jadi pandai tanpa belajar. Adalah kenyataan pula bahwa manusia seketika (tanpa usaha) bisa menjadi melarat, tertimpa bencana, sakit dan mati. Pendek kata, kesengsaraan adalah proses spontan, tapi kebahagian perlu dibangun dengan keringat.

Untuk bahagia perlu kedamaian, artinya hidup bahagia BERSAMA dengan orang lain. Kedamaian juga harus dibangun dengan kerja riel, tidak seperti lawannya, yaitu permusuhan, yang bisa dibuat dalam sekejap. Untuk memperoleh teman sejati tidak semudah mendapatkan musuh. Kata kunci perdamaian adalah KASIH. Tanpa kasih hidup tidak akan damai. Jadi semuanya konsekuensi logis dari keinginan manusia untuk hidup sejahtera. Tapi manusia bebas memilih, Tuhan sejati tidak akan pernah melarang, mau hidup dalam kebencian ya silakan, asal mau menerima konsekuensi tidak adanya kedamaian, dus tidak ada kebahagiaan sejati.

Konsep “Tuhan” Maha Positif bisa membantu umat mencapai kasih, asal bisa menghindari risiko bias menuju pengingkaran terhadap kenyataan sejati. Banyak orang yang berhasil, tapi juga tidak sedikit orang yang gagal. Dunia moderen yang serba mungkin sungguh menambah kompleksitas usaha peningkatan kualitas batin ini. Ilusi-ilusi seringkali menjerumuskan mereka yang salah memilih, dan “Tuhan” Maha Positif tidak bisa lagi diharapkan bantuannya.

Semuanya mengalir seperti air sungai menuju laut, alamiah. Mau melawannya? Mustahil, karena kenyataan selalu menang. Mau berdoa kepada “Tuhan” Maha Positif agar datang menolong? Maaf, “Tuhan-Tuhan” itu telah lama wafat.

Agama dan Tuhan Pandangan Kaum Atheis serta teori kebenaran

Standar


Apa yang anda pikirkan, yang menjadi orientasi dalam kehidupan anda saat ini, cara pandang mengenai diri dan masyarakat, mengenai hidup dan kehidupan dalam semua aspek, sangat dipengaruhi oleh paradigma yang anda ikuti dan berlaku dalam masyarakat. Bagaimana paradigma yang berlaku dan diikuti sebagian besar orang dalam suatu masyarakat, secara umum bisa kita cermati dalam logika stereotip

  1. Untuk Apa Beragama ?

Sebagaimana kita fahami, agama merupakan sebuah jalan bagi manusia untuk mencari kebahagiaan. Agama menjadi pedoman dan ajaran yang dikuti oleh banyak manusia, sebagai upaya untuk mendapatkan kebahagiaan. Orang beragama pada dasarnya adalah untuk mendapatkan  ebahagiaan. Namun bagaimana realitasnya? Banyak manusia beragama justru harus berhadapan dengan berbagai konflik. Suatu kelompok masyarakat ketika mereka mementingkan agamanya, maka masyarakat tersebut akan berhadapan secara diametral dengan masyarakat lain yang juga ingin menjalankan agamanya. Masyarakat muslim Palestina ketika atas nama agama, mereka mencoba mempertahankan tanah kelahirannya, harus berlawanan dengan tentara Israil, yang juga atas nama agama ingin merebut tanah suci agama Yahudi. Hampir tiap hari pemuda dan remaja Palestina dengan ketapelnya, dengan batu-batu kerikil harus berhadapan dengan tentara Isarail yang membawa senjata modern. Puluhan pemuda dan remaja Palestina menjadi korban pembantaian oleh tentara Israil hampir tiap hari.  Setelah kelompok Hamas memenangkan Pemilu 2006, 4 tahun lalu dan memimpin pemerintahan Palestina, terjadi penghentian bantuan dana dari Amerika Serikat dan dunia barat. Di negara Palestina sendiri terjadi pertentangan dan konflik internal antara kelompok Hamas dan kelompok Fatah (partai pemegang pemerintahan sebelumnya). Di Irak, dalam kepemimpinan Saddam Husein yang mengibarkan bendera ”Laa ilaaha illallah” harus menghadapi keganasan pasukan Amerika Serikat yang kemudian menghancur luluhkan negeri 1001 malam itu. Setelah Saddam Husein ditangkap dan dia dili, masyarakat Irak mengalami perang saudara, yaitu kaum Sunni dan kaum Syiah, saling baku hantam. Terjadi pengeboman oleh jamaah Sunni di Masjid milik kaum Syiah dan sebaliknya dilakukan pengeboman oleh jamaah Syiah di Masjid milik kaum Sunni. Di Ambon, beberapa tahun lalu juga terjadi peperangan dengan baku tembak, saling membunuh, dengan peralatan pedang, samurai, tombak, dan pistol rakitan antara kaum muslimin dan kaum nasrani. Konflik yang tak pernah ada habisnya juga terjadi antara organisasi NU dan Muhammadiyah, padahal dua organisasi ini sama-sama dari kelompok muslim. Barangkali di tingkat pimpinan, ada upaya untuk meredam konflik itu, namun di kalangan masyarakat bawah, masih sering mereka tidak bersedia untuk duduk dalam satu forum. Dalam beberapa tahun belakangan ini, kaum muslim Indonesia juga mengalami ketakutan dan kekhawatiran jika menunjukkan identitas keislamannnya, karena distampel 2 sebagai teroris. Mereka yang dicurigai teroris, akan ditangkap oleh pasukan detasemen 88 antiteror dan harus melakukan serangkaian proses pemeriksaan. Dengan beragama diharapkan akan mendapatkan ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan malah yang didapat sebaliknya, ketakutan dan kecemasan. Apa yang saya uraikan merupakan realitas di depan mata yang pada akhirnya memunculkan pernyataan yang stereotip, untuk apa kita beragama jika agama justru mengantarkan kita pada peperangan, kehancuran, hilangnya kedamaian? Banyak orang akhirnya tak mau peduli terhadap ajaran agamanya, cenderung bersikap pasif, cuek bahkan tak mau membawa konsep agama dalam kehidupannya, khususnya dalam masyarakat.

2. Agama Sebagai Candu Masyarakat.

Agama bagi sementara orang hanyalah tempat pelarian dari permasalahan hidup. Ketika seseorang mengalami banyak masalah seperti kemiskinan, ketidakberdayaan, kesengsaraan, maka dia akan  mencari suatu kekuatan yang dianggapnya dapat menolongnya dari permasalahan hidupnya. Kekuatan tersebut dipercaya dapat membantunya memberikan solusi atas masalah yang dihadapi. Demikian anggapan yang ada pada sebagian masyarakat. Anggapan semacam ini juga didukung dan diperkuat oleh pemikiran Karl Marx (1818-1883), seorang ahli filsafat kelahiran Jerman. Menurut Marx, agama sebagai candu masyarakat. Dalam pandangan Marx, agama memang pantas disebut sebagai candu masyarakat karena seperti candu, ia memberikan harapan-harapan semu, dapat membantu orang untuk sementara waktu melupakan masalah real hidupnya. Seorang yang sedang terbius oleh candu/opium dengan sendirinya akan lupa dengan diri dan masalah yang sedang dihadapinya. Ketika orang sedang masuk dalam penderitaan yang dibutuhkan tidak lain adalah candu yang dapat membantu melupakan segala penderitaan hidup, kendati hanya sesaat saja. Dalam konteks ini orang memang membutuhkan ilusi-ilusi untuk meringankan penderitaan dalam dunia real. Pertanyaan filosofis yang diajukan Marx adalah: Mengapa masyarakat harus memiliki ilusi? Mengapa pula masyarakat membutuhkan ilusi-ilusi religius? Bagi Marx, agama merupakan medium dari ilusi sosial. Dalam agama tidak ada pendasaran yang real-obyektif bagi manusia untuk mengabdi pada kekuasaan supranatural. Hal ini bisa dijelaskan dari bagaimana agama berkembang. Agama berkembang karena diwartakan oleh masyarakat yang mempunyai kekuasaan atau oleh masyarakat yang mempunyai kekuasaan atau oleh masyarakat yang didukung oleh orangorang yang memiliki kekuasaan itu. Agama tidak berkembang karena ada kesadaran dari manusia akan pembebasan sejati, tetapi lebih karena ada keasadaran dari manusia akan pembebasan sejati, tetapi lebih karena kondisi yang diciptakan oleh orang-orang yang memiliki kuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Propaganda agama yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dipandang oleh Marx sebagai sikap meracuni masyarakat. Karena itu, komunitas yang sefaham dengan Marx berpandangan agama hanya menghambat kemajuan dan modernisasi. Dengan berbagai aturan, norma, dogma-dogma dan kaidah yang ada dalam ajaran agama membuat masyarakat terbelenggu, terhambat dalam produktifitas maupun kreativitasnya, dan tak bisa melakukan peningkatan kebudayaan dan peradaban bagi perkembangan masyarakatnya. Karena itu agama harus ditolak dan ditinggalkan.

3. Segala Yang Ada : Materi?

Keraguan tentang konsep agama sebagai pedoman hidup yang bisa membawa manusia mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian, berlanjut pada keraguan akan Tuhan. “Sesuatu” yang menjadi pokok keyakinan orang beragama. Mereka pun meragukan keberadaan Tuhan. Segala yang ada adalah materi. Materi adalah segala sesuatu yang menempati ruang dan terpengaruh oleh waktu. Materi tersusun dari partikel-partikel yang terdalam, tidak dapat rusak, kecil, bulat, keras, yang dinamakan atom-atom. Atom-atom tersebut bukan hanya tidak pernah terjadi atom-atom baru. Ini berarti bahwa semua bentuk materi hanyalah merupakan pengelompokan baru atom-atom tadi, sebagai semula diyakini kebenarannya, hukum kekekalan materi (Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat,) Alam semesta dan manusia menurut paham ini juga materi. Mahluk hidup sebagai materi tersusun dari partikel-partikel hidup yang disebut sel- Sel pada mahluk hidup akan mengalami kerusakan dan digantikan dengan yang baru. Itulah yang terjadi pada binatang, manusia maupun alam semesta. Materi merupakan awal dan akhir suatu kehidupan. Orang yang berfaham materialisme menganggap bahwa realitas seluruhnya adalah materi belaka. Menurut Ludwig Feuerbach (1804-1872), hanya alamlah yang ada. Manusia adalah alamiah juga. Yang penting bagi manusia bukan akalnya, tetapi usahanya. Sebab pengetahuan hanyalah alat agar usaha manusia berhasil. Kebahagiaan manusia dapat dicapai di dunia ini. Oleh karena itu menurutnya, agama dan metafisika harus ditolak. Menurut Feuerbach, agama timbul dari sifat egoisme manusia yang mendambakan kebahagiaan. Apa yang tidak ada pada manusia tetapi didambakannya, digambarkan sebagai kenyataan yang ada pada para dewa (atau Tuhan). Karena itu, Dewa (atau Tuhan) sebenarnya merupakan keinginan manusia. (Drs A. Chairil Basori, Filsafat, 1987) Penganut faham materialisme, menganggap sebenarnya Tuhan itu tidak ada. Adanya Tuhan tak dapat dibuktikan. Mereka lebih percaya Tuhan itu tidak ada. Jika keberadaan Tuhan tidak diakui, maka secara otomatis ajaran dan kebenaran yang bersumber darinya yaitu agama pun tidak diakui. Paling tidak bagi mereka yang berpaham materialisme, menolak keberadaan Tuhan. Akibat penolakan atas keberadaan Tuhan, mendorong penganut paham ini bebas melakukan tindakan yang mereka sukai, tanpa rasa takut akan mendapat murka dari Tuhan.

4. Tuhan, Hasil Rekayasa Pikiran?

Pada masyarakat yang tidak mengakui dan menolak keberadaan Tuhan, juga berpendapat bahwa adanya Tuhan pada kepercayaan orang-orang beragama, hanyalah hasil rekayasa pikiran. Manusia merupakan makhluk yang berakal, yang mampu berfikir, maka dengan pikirannya dia bisa mengadakan obyek tertentu dalam alam pikirannya. Tokoh rasionalis Rene Descartes (1596-1650) menyatakan “cogito ergo sum” yang artinya aku berpikir, maka aku ada. Adanya aku, sebagai manusia, nyata ada jika aku berpikir. Dan dengan berpikir, manusia bisa menjadikan segala sesuatunya menjadi “mengada”. Tuhanpun menjadi ada, dengan cara dipikirkan. Jika manusia berpikir Tuhan ada, maka jadilah Dia ada. Sebaliknya, jika Tuhan tidak dipikirkan, maka Tuhan tidak ada. Dengan cara yang sama, pembaca bisa berpikir mengenai seorang wanita cantik berambut pirang, maka akan muncul dan menjadi ada dalam alam pikiran pembaca seorang wanita cantik berambut pirang. Pun pembaca bisa berpikir mengenai seekor harimau besar berwarna putih yang siap menerkam, maka akan muncul dan menjadi ada dalam alam pikiran pembaca, seekor harimau besar berwarna putih yang siap menerkam. Meski dalam alam nyata tak pernah ada di depan pembaca. Demikianlah, analogi yang sama mereka anggap, bahwa adanya Tuhan adalah hasil rekayasa pikiran manusia. Perkembangan pemikiran manusia baik perorangan maupun masyarakat, manurut Auguste Comte (1798-1857) berlangsung dalam tiga zaman yaitu zaman teologis, metafisis dan zaman positif.

a. Zaman Teologis

Zaman dimana manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam, terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Pada masyarakat primitive, mereka percaya benda-benda seperti batu, pusaka, keris, dan sebagainya mempunyai kekuatan atau berjiwa (animisme), sehingga mereka begitu mengagungkan dan memuliakan benda-benda tersebut. Pada tahap selanjutnya, manusia percaya akan adanya Dewa-dewa (politheisme), sehingga mereka mengagungkan dan melakukan penyembahan terhadap Dewa-dewa tersebut, seperti Dewa Matahari, Dewa Padi, Dewa Gunung, Dewa Cinta. Dewa Pemberi Harta dan lain-lainnya. Mereka bahkan siap mengorbankan apapun agar Sang Dewa tidak murka pada masyarakat. Selanjutnya, manusia percaya adanya satu kekuatan besar, pemimpin para Dewa atau terkumpulnya Dewa-dewa menjadi satu yaitu Tuhan yang Maha Kuasa. (monotheisme).

b. Zaman Metafisis

Kekuatan-kekuatan yang dimiliki para dewa itu, kekuatan adikodrati diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak. Mereka percaya benda-benda di alam semesta itu menyimpan energi, yang dengan suatu cara tertentu kekuatan energinya dapat dimanfaatkan bagi kebutuhan dan kepentingan hidup masyarakat.

c. Zaman Positif

Ketika masyarakat tidak lagi berusaha mencapai pengetahuan tentang yang mutlak baik dari sisi teologis maupun metafisis. Manusia berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta yang didapatinya dengan pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini, akan tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja. Hukum ketiga tahap zaman tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap perseorangan. Umpamanya sebagai kanak-kanak adalah seorang teolog, sebagai pemuda menjadi metafisikus, dan sebagai orang dewasa adalah seorang fisikus. (Drs A. Chairil Basori, Filsafat,) Pada tahap positivisme, manusia telah mampu dengan akal dan pengetahuannya mengatasi setiap permasalahan. Dengan telah ditemukannya lampu listrik, mesin jahit, mesin industri, traktor dan sebagainya, maka seluruh kebutuhan hidup manusia dapat dipenuhi dengan mempergunakan akal dan pengetahuannya. Maka pada tahap ini manusia tidak lagi membutuhkan Dewa-dewa maupun Tuhan untuk membantu mengatasi permasalahannya.

5. Tuhan Telah Mati?

Dengan kemampuan akal dan pengetahuannya, manusia bahkan berkeinginan untuk bisa menguasai alam. Kehendak untuk berkuasa merupakan dasar dan sumber tingkah laku manusia. Kehendak untuk berkuasa memasuki semua bidang kegiatan manusia: kesadaran hidup, perwujudan nilai-nilai agama, kebudayaan dan lain-lain. Kehendak untuk berkuasa bahkan merupakan kenyataan yang benar akan dunia ini. Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa, lain tidak. Inilah salah satu pokok pikiran Friedrich Nietzsche (1844 – 1900), tokoh filsafat yang Anti-Theisme. Menurut Nietzsche, kehendak untuk berkuasa ini nampak dalam ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, manusia ingin menyelidiki dunia untuk menemukan kenyataan dunia yang menjadi. Dengan ilmu, semua yang ada diubah kedalam bentuk-bentuk yang pasti. Maka ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai penjelmaan alam menjadi konsep-konsep, dengan tujuan untuk menguasai alam. Agama juga dinyatakan sebagai perwujudan kehendak untuk berkuasa. Semua agama hakekatnya berasal dari kehendak untuk berkuasa. Karena kehendak untuk berkuasa ini tidak dapat dipenuhi dengan kekuatan manusia sendiri, maka manusia menyerahkan usahanya kepada pribadi yang lebih tinggi. Manusia lari kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena ia sendirian tidak dapat mengalahkan kekuatan yang dihadapinya. Bagi Nietzsche, manusia yang ideal adalah superman. Dengan superman kehendak untuk berkuasa atas dunia menjadi sempurna. Sejarah akan mencapai kesudahannya pada kehadiran manusia superman ini. Superman adalah manusia yang mengetahui bahwa Tuhan telah mati, bahwa tidak ada sesuatupun yang melebihi atau mengatasi dunia ini. Superman akan muncul bila manusia telah mempunyai keberanian untuk mengubah system nilai, untuk menghancurkan nilai-nilai yang ada terutama nilai-nilai lama, dan menyusun dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang melebihi sebelumnya. (Drs A. Chairil Basori, Filsafat,) Pernyataan yang cukup berani dari Nietzche bahwa “God is dead” (Tuhan telah mati) telah mampu membuat masyarakat yang anti Tuhan untuk melangkah dengan keyakinan diri yang penuh, untuk melakukan kreativitas yang liberal. Jika tuhan telah mati dengan segala perintah dan larngannya, maka berarti dunia sudah terbuka untuk sebuah kebebasan dan kreativitasnya. Segalanya berjalan dengan sendirinya, alam semesta bergerak dan berputar mengikuti hokum alam, tanpa campur tangan lagi dari Tuhan. Demikianlah, pemikiran yang liberal semacam ini banyak yang melanda masyarakat modern, yang meski tidak secara terus terang, telah menganggap bahwa God is dead. Tuhan telah mati!

6. Manusia Sebagai Makhluk Pencari Kebenaran.

Namun tidak semua masyarakat mengikuti pemikiran para ahli filsafat yang anti Tuhan itu. Banyak diantara mereka yang tidak pernah puas dengan penjelasan para ahli  pikir dunia masa lampau. Manusia menyadari bahwa dirinya berbeda dengan binatang. Adanya akal yang melengkapi makhluk bernama manusia, membedakannya dari makhluk yang lain. Dengan akalnya manusia terus bertanya, mencari jawaban atas setiap pertanyaan. Pertanyaan yang paling mendasar adalah Siapakah aku? Dari mana aku? Hendak kemana Aku? Pertanyaan-pertanyaan ini terus mengusiknya yang membutuhkan jawaban yang memuaskan. Termasuk pertanyaan tentang Tuhan dan alam semesta? Manusia ingin mengetahuinya dengan cara bertanya dan berpikir. Dengan menggunakan akalnya inilah manusia berusaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang muncul pada dirinya. Menurut Endang Syaifudin Ansori, Manusia adalah hewan yang berpikir. Berpikir adalah bertanya. Bertanya adalah mencari jawaban. Mencari jawaban adalah mencari kebenaran. Mencari kebenaran akan Tuhan, alam dan manusia. Jadi pada akhirnya : Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. (Endang Syaefuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama,) Lalu apa itu kebenaran? Dalam dunia ilmu pengetahuan, kebenaran adalah kebenaran ilmiah, suatu pengetahuan yang jelas dari suatu obyek materi yang dicapai menurut obyek forma (cara pandang) tertentu dengan metode yang sesuai dan ditunjang oleh suatu system yang relevan. Pengetahuan demikian ini tahan uji baik dari verifikasi empiris maupun yang rasional. Dalam pembahasan tentang teori kebenaran, Endang mengemukakan tiga teori yaitu teori korespondensi, teori konsistensi dan teori pragmatis. Uraian tiga teori itu dijelaskan sebagai berikut.

a. Teori korespondensi (coorespondence theory)

Adalah kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya. Menurut teori korespondensi, suatu pernyataan dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu adalah berkorespondens (bersesuaian) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Dengan kata lain, kebenaran itu adalah suatu pernyataan yang sesuai dengan kenyataan (fakta), tanpa memperhatikan idea atau pikiran. Contohnya “di luar rumah udaranya dingin”, pernyataan ini benar jika faktanya ketika kita keluar rumah memang udaranya dingin.

b. Teori konsistensi (consistence theory)

Teori ini disebut pula coherence, adalah kebenaran, tidak dibentuk atas hubungan antar putusan (gudgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Atau secara sederhana dapat dikatakan nahwa menurut teori konsistensi, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat konsisten atau koheren dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar, tanpa mempedulikan fakta yang ada. Contohnya, “murid SMK Satu Bulukumba pintar-pintar” adalah pernyataan awal (terdahulu) yang benar. “Andryan adalah murid yang pintar”, pernyataan ini dianggap benar jika Andryan adalah murid SMK Satu Bulukumba. Dasar pembenaran pernyataan “Andryan murid yang pintar” karena koheren dengan pernyataan sebelumnya, “murid SMK Satu Bulukumba pintar-pintar”.

c. Teori pragmatis (pragmatic theory)

Suatu proposisi adalah benar sepanjang proposisi itu berlaku, atau memuaskan. Menurut teori pragmatis, kebenaran bergantung kepada kondisi-kondisi yang berupa manfaat (utility), kemungkinan dapat dikerjakan (workability) dan konsekuensi yang memuaskan (satisfactory results). Dengan perkataan yang lebih sederhana, sesuatu dianggap benar jika itu mempunyai manfaat fungsional atau menguntungkan dalam kehidupan praktis. Contohnya, pernyataan “system komputerisasi kantor adalah baik”. Pernyataan tersebut benar karena penggunaan computer di kantor-kantor sangat membantu proses (memper mudah dan mempercepat kerja) kegiatan di kantor. Ketiga teori ini meski tidak seluruhnya tepat, namun yang paling mendekati adalah teori korespondensi, dimana pernyataan bisa dikatakan benar jika faktanya sesuai dengan pernyataan. Bagaimana manusia dalam upaya mencari kebenaran? Jika permasalahan yang dipertanyakan menyangkut masalah-masalah idea, filsafat atau metafisika maka sulit untuk bisa memperoleh jawaban sebagai kebenaran. Siapa aku sebenarnya? Untuk apa aku hidup? Kemana aku nantinya? Benarkah Tuhan itu ada? Bagaimana membuktikannya? Mencari jawaban atas pertanyaan tersebut sangatlah sulit, demikianlah untuk menemukan kebenaran tentang permasalahan yang essensial dalam kehidupan manusia tidaklah bisa dicapai dengan teori-teori diatas.

7. Mencari Kebenaran Dengan Metodologi Ilmiah

Bagaimana cara kita mendapatkan suatu kebenaran. Dalam dunia ilmu pengetahuan, kita mengenal apa yang dinamakan metodologi ilmiah. Metode ilmiah adalah sebuah cara untuk mencari sebuah kebenaran. Kebenaran ilmiah ini harus memenuhi persyaratan empiris, obyektif, rasional, dan sistematis. Empiris berarti suatu kebenaran berdasarkan pengalaman yang dapat ditangkap dengan pancaindra. Pengetahuan tersebut berasal dari pengalaman manusia, dari dunia luar yang ditangkap dengan pancaindranya. Sehingga kebenaran tersebut dapat juga diketahui oleh orang lain sebagai kebenaran yang dapat ditangkap dengan pancaindranya pula. Misalnya kebenaran mengenai air yang dipanaskan dalam suhu 100 derajat celcius akan mendidih. Ini merupakan kebenaran yang berdasarkan pengalaman-pengalaman yang pernah dijalani manusia, maka terhadap hal tersebut secara empiris manusia lainpun akan menemui hal yang sama. Obyektif berarti suatu kebenaran harus mengandung nilai obyektifitas, berdasarkan fakta yang menjadi obyek pengetahuan, bukan berdasarkan yang menilai atau yang mengamati (subyek-nya). Sebuah kebenaran harus dapat dibuktikan oleh orang lain dan akan memperoleh pengetahuan yang sama. Misalnya air akan bergerak mengalir pada tempat yang lebih rendah atau menurun. Kebenaran demikian dapat dibuktikan orang lain dan diperoleh pengetahuan yang sama pula. Rasional berarti kebenaran tersebut bersumber dari akal (rasio) atau pikiran manusia, dimana pengalaman-pengalaman hanya sebagai perangsang bagi pikiran. Kebenaran demikian merupakan kesimpulan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dan menjadi pengetahuan dalam akal manusia. Bahkan tanpa perlu pembuktianpun, kebenaran itu tak terbantahkan. Misal, pernyataan garis lurus merupakan jarak terdekat diantara dua buah titik, maka kita mau tidak mau harus mengakui kebenaran pernyataan tersebut. Sistematis berarti berurutan, yakni dalam menemukan kebenaran harus melalui proses yang berurutan. Dalam suatu penelitian ilmiah, sistematis itu bila dilakukan melalui tahapan-tahapan memilih dan merumuskan masalah, menyusun latar belakang teoritis, menetapkan hipotesis, menetapkan variable, memilih alat pengump[ulan data, menyusun rancangan penelitian, menentukan sample, menyimpulkan dan menyajikan data, mengolah dan menganalisis data, menginterpretasi hasil analisis dan mengambil kesimpulan, menyusun laporan dan mengemukakan implikasi. Untuk menghasilkan sebuah kebenaran ilmiah juga harus didukung dengan berpikir dan bersikap ilmiah yaitu dengan tahapan skeptis, analitis, dan kritis. Skeptis adalah upaya untuk selalu menanyakan bukti-bukti atau fakta-fakta terhadap setiap pernyataan. Analitis adalah kegiatan untuk selalu menimbang-nimbang setiap permasalahan yang dihadapinya, mana yang relevan, mana yang menjadi masalah utama dan sebagainya. Kritis adalah berupaya untuk mengembangkan kemampuan menimbangnya selalu obyektif. Untuk ini maka dituntut agar data dan pola berpikirnya selalu logis.

8. Asal Usul Kehidupan

Untuk mengetahui realitas kehidupan manusia dan alam semesta, pertanyaan yang muncul mengemuka adalah bagaimana awal mula kehidupan di dunia ini. Siapakah yang menciptakan alam semesta dan bagaimana proses penciptaannya? Dalam buku pelajaran Biologi Kelas III di SMA, kita dapatkan penjelasan mengenai asal-usul kehidupan. Bagi mereka yang sempat duduk di bangku SMA Jurusan IPA/Biologi, tentu pernah mendapatkan sub materi pelajaran Asal Usul Kehidupan ini. Ada beberapa teori yang dikemukakan yaitu teori-teori abgiogenesis, biogenesis, kosmozaik, evolusi kimia dan evolusi biologi.

a. Teori Abiogenesis

Menurut teori Abiogenesis, kehidupan berasal dari materi yang tidak hidup atau benda mati dan terjadi begitu saja (spontan). Itulah sebabnya, teori ini dinamakan pula teori generatio spontanea. Teori abiogenesis ini dikemukakan pertama kali oleh Aristoteles (334 – 332 SM), seorang filsuf dan ilmuwan Yunani Kuno. Teori ini bertahan ratusan tahun. Munculnya teori ini didasarkan pada pengamatan sederhana terhadap apa yang mereka lihat di sekelilingnya tanpa didukung oleh peralatan yang memadai. Sebagai contoh, karena cacing berada di dalam tanah, maka cacing berasal dari tanah. Dengan alasan yang sama, mereka menganggap katak berasal dari Lumpur, belatung berasal dari daging yang membusuk, dan sebagainya. Pada abad 17, Antonie van Leeuwenhoek menemukan mikroskop. Penemuan mikroskop ini membuka cakrawala baru bagi dunia sains. Namun bagi para pendukung teori abiogenesis, adanya makhluk hidup kecil yang mereka lihat melalui mikroskop makin memperkuat mereka tentang teori abiogenesis tersebut.

b. Teori Biogenesis

Teori biogenesis merupakan lawan dari teori abiogenesis. Teori ini menyatakan bahwa makhluk hidup berasal dari makhluk hidup pula. Teori biogenesis mendapat dukungan dari Francesco Redi (1626 – 1697), Lazzaro Spallanzani (1727 -1799) dan Louis Pasteur (1822 -1895). Ketiganya melakukan percobaan untuk membuktikan teori biogenesis. Francesco Redi mengadakan serangkaian percobaan dengan bahan daging yang dimasukkan ke delapan stoples dengan kondisi yang berbeda-beda. Setelah beberapa hari di dalam stoples yang terbuka, Redi mendapatkan larva, sedangkan di dalam stoples yang tertutup tidak terdapat larva Berdasarkan percobaan ini, Redi berkesimpulan bahwa larva bukan berasal dari daging, melainkan berasal dari telur lalat yang disimpan dalam daging. Lazzaro Spallanzani juga melakukan percobaan dengan menggunakan dua tipe medium dengan prinsip yang sama dengan Redi, tetapi dengan rancangan yang lebih sempurna. Berdasarkan hasil percobaan Spallanzani, ditemukan kenyataan bahwa udara memberi pengaruh besar terhadap terbentuknya kekeruhan pada air kaldu,membuat para pendukung abiogenesis menolak hasil percobaan spallanzani. Mereka menganggap udara mempunyai daya hidup (vital force) yang dapat memicu terbentuknya kehidupan. Konsep tentang adanya daya hidup yang diyakini pendukung teori abiogenesis membuat Louis Pasteur berpikir bagaimana merancang percobaan yang memungkinkan udara (daya hidup) tetap dpat berhubungan dengan labu tetapi tidak mempengaruhi isi labu. Hasil percobaan Pasteur menunjang teori biogenesis dan sekaligus menumbangkan teori abiogenesis. Teori biogenesis dapat dirumuskan dalam postulat berikut ini. Omne vivum ex ovo yang berarti makhluk hidup berasal dari telur, omne ovum ex vivo yang berarti telur berasal dari makhluk hidup, dan omne vivum ex vivo berarti makhluk hidup berasal dari makhluk hidup sebelumnya.

c. Teori Kosmozoik

Teori ini dikemukakan oleh Richter (1865) dan didukung oleh Thompson, Helmholtz dan Van Tieghan. Menurut teori ini, benda-benda langit yang panas berpijar pada bagian permukaannnya saja. Bagian-Bagian dalamnya tetap dingin sehingga embrio suatu organisme yang menempati bagian dalamnya tetap hidup. Selanjutnya, organisme-organisme menyebar sampai ke bumi dan tumbuh subur di bumi. Kemudian organisme-organisme ini berkembang dan berevolusi hingga menghasilkan seluruh spesies yang ada sekarang ini.

d. Teori Evolusi Kimia

Menurut salah satu teori, system tata surya (solar system) terbentuk dari kabut gas di angkasa. Gaya gravitasi yang timbul menyebabkan terjadinya kontraksi sehingga menaikkan suhu pusat massa. Kontraksi ini menyebabkan terbentuknya suatu bintang baru (matahari). Bintang ini dikelilingi lingkaran gas dan debu yang merupakan asal  mula terbentuknya planet-planet. Meteorit terbentuk sekitar 4550 juta tahun yang lalu; bulan 4600 juta tahun yang lalu dan bumi 4550 juta tahun yang lalu, membuktikan bahwa system tata surya berumur kira-kira 5000 juta tahun atau 5 milyar tahun. Kondisi bumi pada awal pembentukan sangat berbeda dengan keadaan sekarang. Pada saat itu, suhu permukaan bumi antara 4000-8000 derajat celcius. Sewaktu permukaan bumi mulai dingin, senyawa-senyawa karbon  dan unsure logam membentuk lapisan bumi bagian dalam (mantel), tersusun dari batuan yang mencair dan terdiri atas senyawa silicon, aluminium, besi dan sebagainya. Para ilmuwan berpendapat bahwa pada saat itu di atmosfer terkumpul gas-gas ringan, seperti hydrogen (H2), helium (He), argon (Ar), nitrogen (N), dan oksigen(O2). Akibatnya, di atmosfer terbentuk senyawa-senyawa yang mengandung unsure-unsur ringan, misalnya uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan ammonia (NH3). Pada saat suhu atmosfer turun menjadi sekita 100 derajat Celcius, terjadi hujan air mendidih selama beberapa ribu tahun. Pada kondisi seperti ini, kehidupan di bumi tidak mungkin terbentuk, tetapi sangat memungkinkan terjadi reaksi-reaksi kimia karena tersedianya materi dan energi yang berlimpah.

e. Teori Evolusi Biologi

A.I. Oparin dalam bukunya Asal Mula Terjadinya Kehidupan (The Origin of Life), mengemukakan bahwa asal mula kehidupan terjadi di lautan melalui pembentukan senyawa-senyawa organic dari senyawa-senyawa sederhana seperti H2O, CO2, CH4, NH3 dan H2, yang memang berlimpah pada saat itu. Pembentukan senyawa organic ini dibantu oleh energi radiasi benda-benda angkasa yang juga sangat intensif pada saat itu. Senyawa kompleks pertama diduga semacam alkohol dan asam amino yang selama jutaan tahun senyawa-senyawa ini bereaksi membentuk senyawa yang lebih kompleks, seperti asam organic, purin dan pirimidin. Senyawa-senyawa ini merupakan bahan pembentuk sel.

9. Evolusi Menurut Darwin

Charles Robert Darwin seorang biolog Inggris mengemukakan teori evolusinya melalui buku yang berjudul The Origin of Species by Means of Natural Selection (Asal Mula terjadinya Spesies melalui Seleksi Alam) pada tahun 1859. dalam buku tersebut Darwin menyatakan bahwa semua makhluk hidup memiliki leluhur yang sama dan bahwa mereka berkembang satu sama lain dengan cara seleksi alamiah. Mereka yang terbaik dalam beradaptasi dengan lingkungan mewariskan perilaku mereka ke generasi berikutnya, dan lambat laun, sifat-sifat yang menguntungkan ini mengubah individuindividu menjadi spesies yang berbeda total dari leluhur mereka. Dengan demikian, manusia ialah produk yang paling maju dari mekanisme seleksi alamiah ini. Singkatnya, suatu spesies berasal dari spesies lain. Dua teori evolusi pokok yang terkandung dalam buku tersebut adalah sebagai berikut (a) Spesies yang hidup sekarang berasal dari spesies yang hidup di masa lampau. Dan (b) Evolusi terjadi melalui seleksi alam. Ahli evolusi lain, Alfred R. Wallace (1823-1913) ternyata mempunyai pemikiran yang sama dengan pemikiran Darwin, meskipun diantara mereka tidak saling mengenal. Pemikiran mereka disajikan bersama dalam pertemuan antar ilmuwan di London yang tergabung dalam Linneon Society of London pada tanggal 1 Juli 1858. Sejak saat itu teori evolusi Darwin didukung oleh banyak ilmuwan di dunia.Menurut teori evolusi Darwin, manusia merupakan hasil proses evolusi dari spesies lain yang hidup lebih dahulu yaitu kera. Dalam perkembangan selanjutnya, oleh para pendukung teori evolusi ini dengan mengemukakan teori neo-Darwinisme. Menurut teori ini spesies berkembang sebagai hasil dari mutasi-mutasi, perubahan-perubahan kecil dalam gen mereka, dan yang paling sesuailah yang bertahan hidup melalui mekanisme seleksi alam. Selanjutnya mereka juga mengembangkan teori punctuated equilibrium (keseimbangan bersela) yang menyatakan bahwa makhluk hidup tiba-tiba berkembang menjadi spesies lain, meski tanpa bentuk transisinya. Dengan kata lain, spesies tanpa ‘nenek moyang’ evolusioner tiba-tiba muncul. Menurut teori evolusi, manusia dan kera modern mempunyai leluhur yang sama. Makhl-makhluk ini berkembang seiring dengan waktu dan beberapa diantara mereka menjadi kera-kera masa kini, sedangkan sekelompok lain yang mengikuti cabang evolusi lain menjadi manusia manusia masa kini. Para evolusionis menyebut ‘leluhur bersama’ pertama manusia dan kera ini ‘Australopithecus’ yang berarti ‘Kera Afrika Selatan’. Terdapat berbagai jenis Australopithecus, yang hanya spesies kera lama yang telah menjadi berbeda. Sebagiannya tegap, sementara yang lainnya kecil dan rapuh. Para evolusionis menggolongkan tahap evolusi manusia berikutnya sebagai ‘Homo’, yakni ‘manusia’. Menurut klain evolusionis, makhluk hidup dalam tahap ‘homo’ ini lebih berkembang dari pada Australpithecus, dan tidak banyak berbeda dari manusia modern. Manusia modern masa kini, Homo sapiens, konon terbentuk pada tahap terakhir evolusi spesies ini. (Harun Yahya, Allah is Known Through Reason, 58-59) 10. Dimanakah Tuhan? Dalam uraian mengenai teori-teori pengetahuan dan hasil dari penelitian sains diatas, belum ada yang bisa tuntas membahas dan membuktikan adanya Tuhan. Dimanakah Tuhan? Tak ada ilmuwan yang mampu menjawab pertanyaan mengenai keberadaan Tuhan dan memberikan bukti-bukti secara ilmiah.


AtheisKu

Standar


Jangan takut, ini bukan upaya atheisasi. Orang Indonesia boleh jadi takut dengan ‘kristenisasi’ dan di Eropa, orang takut dengan ‘islamisasi.’ Tapi ini bukan upaya atheisasi. Upaya mengkonversi orang-orang beragama menjadi atheis bertentangan dengan prinsip atheisme itu sendiri. Atheisme bukan kepercayaan yang harus diimani begitu saja. Atheisme adalah keyakinan seperti keyakinan ilmiah yang harus ditemukan sendiri.

Atheisme nyaman bagi diriku, melegakan batinku, tetapi sulit berhadapan dengan tekanan sosial di Indonesia.

Orang masih memicingkan mata pada atheisme, menganggap atheis sebagai orang paling hina di muka bumi. Atheis dianggap sebagai sumber kekejian dan kebejatan moral.

Atheis bukanlah orang tanpa etika dan moral, hanya saja atheisme tidak mendasarkan moralitas dan etikanya pada ajaran Tuhan, melainkan pada akal budi manusia. Saya kira bukan tempatnya di sini untuk memberi penjelasan apa itu atheisme.

Saya menjadi atheis bukan karena keluarga, bukan karena teman, bukan karena akibat pernikahan (tidak jarang orang pindah agama untuk menyesuaikan diri dengan UU Pernikahan di Indonesia). Aku menjadi atheis melalui pergulatan panjang mencari Tuhan.

Aku dilahirkan dari keluarga Islam lengkap dengan azan di telinga ketika saya baru saja dilahirkan. Keluargaku pun muslim yang taat dan sangat tolerans dan sangat mendorong kebebasan berekspresi serta mendorongku untuk mencintai membaca juga dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan terutama realita sosial.

Pergulatan panjang mewarnai setiap langkahku dalam mencari sebuah makna Kemudian Aku menemukan bahwa pertanyaan tersebut salah, karena jawaban yang tersedia adalah:

– Semua agama sama baiknya

– Ikuti kata hatimu sendiri

Pencarianku mengenai semua agama sama baiknya berujung pada dilema, seperti semua kecap adalah kecap no. 1, berarti semua agama sama buruknya. Agama A mengatakan A-lah agama paling baik, dan agama B buruk. Sebaliknya agama B mengatakan hal yang sama mengenai dirinya sendiri, dan mengkatagorikan agama A sebagai agama yang tak baik. Jika ada 1.000 agama di dunia, memilih salah satu berarti berharap 1 surga, tetapi bersiap masuk 999 neraka agama lain yang disiapkan bagi orang ‘kafir’.

Pencarianku pada tokoh-tokoh agama berpikiran luas mengantarkanku pada kata-kata bijak, “Agama itu seperti makanan, ya, makanan jiwa, pilih yang sesuai selera, dan sreg. Walaupun katanya bergizi, tapi kalau makannya terpaksa, ya juga nggak akan enak dan nggak akan membawa manfaat buat kamu.”

Perjalanan pencarianku atas Tuhan juga membawaku pada beberapa orang atheis yang sama sekali tidak menganjurkan aku menjadi atheis. Semua atheis yang aku jumpai mengatakan, kurang lebih, “Ikuti akal budimu, sergaplah ilmu pegetahuan, pelajari sejarah peradaban manusia.”

Atheis yang baik, menurut mereka, bukanlah seorang pendakwah yang mencari sebanyak-banyaknya pengikut, tetapi orang-orang yang mendasari moralitasnya pada akal budi manusia serta mengakui segala keterbatasannya. Atheisme bukanlah sebuah keyakinan yang menurun dalam keluarga, boleh jadi bukanlah sesuatu yang mudah diajarkan. Atheisme, adalah sebuah hasil pencarian seseorang yang bersifat personal. Seorang atheis yang baik adalah mereka yang cukup berani mempertanyakan segala sesuatu dan giat bekerja serta belajar untuk mencari jawabnya. Seorang atheis yang baik tidak bisa yakin sebelum meragukan sesuatu terlebih dahulu. Seorang atheis tidak boleh gemar mencontek karena malas mencari jawaban. Seorang atheis yang baik tidak boleh menjadi atheis karena dipengaruhi orang lain. Dengan kata lain atheisme hanya bisa ditemukan dan dialami sendiri. Seorang atheis yang baik tidak akan mendorong apalagi membujuk orang lain untuk jadi atheis, tetapi membiarkannya tumbuh dalam pencarian.

Pencarianku berakhir pada atheisme. Aku sangat yakin bahwa Tuhan tidak ada, dan hanya ada kemungkinan kecil sekali Tuhan (beserta neraka dan surganya) ada. Tuhan mungkin saja ada, karena sangatlah tidak ilmiah mengatakan Tuhan pasti tidak ada, toh ilmuwan tidak bisa membuktikan ketiadaan Tuhan, walaupun tidak ada pula orang yang pernah membuktikan kehadiran Tuhan. Russell memberi analogi yang baik mengenai poci teh (teapot) yang mengorbit antara bumi dan Mars.

Aku sampai pada pencarianku, bagaimana sejarah peradaban manusia memelihara kerinduan manusia akan adanya kepastian, kebutuhan sosok imajiner yang Maha Adil, Maha Kasih, Maha Kuasa, dan bagaimana manusia berangsur-angsur menciptakan sosok Tuhannya, membunuhnya atau meninggalkannya, lalu menciptakan sosok Tuhan baru.

Sampai akal budi dan pengetahuan manusia cukup berani mengakui keterbatasannya, dan mengatakan, “Cuma itu yang kita punya, berterimakasihlah pada kita sendiri.” Memiliki Tuhan Yang Maha Kuasa tapi juga pada saat yang sama bersusah payah menyembunyikan diriNya sendiri tidak membantu manusia dalam cara apapun, kapanpun, dan di manapun, kecuali untuk menenangkan hati sendiri akan adanya kepastian mutlak dan harapan akan hadirnya keadilan sejati di alam lain.

Aku tidak memusuhi agama dan orang-orang beragama atau berTuhan. Tidak seperti orang-orang beragama yang memusuhi orang-orang tak bertuhan. Aku tidak ingin menyadarkan orang-orang beragama untuk meninggalkan Tuhannya. Aku hanya ingin orang-orang atheis (di Indonesia khususnya) yang masih dalam ketakutan atau tekanan sosial yang berat untuk bebas dari ketakutan dan tekanan.

Aku sadar bahwa orang bermacam ragam. Ada yang masih perlu Tuhan, dan ada yang tidak perlu Tuhan. Aku adalah tipe orang kedua. Kalau aku berbuat baik, bukan hidup abadi di surga yang aku harapkan, tapi karena aku tahu bahwa perbuatan itu harus aku lakukan. Kalau aku tidak berbuat jahat, bukan siksa neraka yang aku takutkan, cukup karena aku tahu perbuatan tersebut tidak pantas dilakukan.

Menjadi seorang atheis, di Indonesia, adalah perjalanan yang melelahkan, berat, dan berliku. Dilihat dari pengalaman aku, jauh lebih sukar daripada menjadi seorang yang beragama. Bahkan aku belum bisa menghapuskan kata “Islam” dari KTP, pun kalau aku harus menikah, sesuai UU aku masih harus mengikuti aturan yang berlaku. Bagi sesama atheis di Indonesia, aku hanya bisa mengatakan, “Jangan takut, kamu tidak sendirian.”


Taruhan Smith: Orang Ateis akan Selalu Lebih Untung

Standar

Taruhan ini diajukan oleh George H. Smith, pengarang buku  “Atheism: The Case Against God”.  Tulisan ini terangkum dalam naskah pidato yang disampaikannya pada 1979 di depan Society of Separationists.

Anda mungkin pernah mendengar taruhan Pascal (Pascal’s wager). Blaise Pascal adalah seorang matematikawan, filsuf dan teolog asal Perancis. Pascal pernah mengeluarkan pernyataan yang terkenal sebagai berikut: “Akal tidak dapat membatalkan atau membuktikan eksistensi Tuhan. Anggap jika ateis benar, maka kita (orang Kristen) akan mati, tak ada yang terjadi, kita pun tidak akan rugi. Tapi jika Kristen (orang beragama lain) benar, orang yang tak percaya akan masuk neraka untuk selamanya. Jadi dilihat dari sini, memilih beragama akan lebih menguntungkan.”

Masalah pertama dari taruhan Pascal ini ada pada kepengecutan intelektual. Alih-alih mencari kebenaran, karena diliputi takut kemudian memilih bertindak aman untuk begitu saja percaya. Padahal percaya bukan sesuatu yang dapat diatur begitu saja. Orang yang tidak percaya peri tidak akan jadi percaya meskipun diancam. Pun jika percaya, itu hanya dimulut, tidak tulus, hanya sekedar mencari aman.

Itu sebab, saya menawarkan alternatif pengganti untuk taruhan Pascal. Taruhan ini saya sebut taruhan Smith (Smith’s wager). Berikut lengkapnya:

  1. Eksistensi Tuhan mesti bisa dibuktikan oleh akal.
  2. Dengan menggunakan cara berlogika yang konsisten, kita akan sampai pada simpulan bahwa kepercayaan atas Tuhan itu sama sekali tak berdasar dan harus ditolak.

Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana jika akal ternyata salah? Akal memang kadang salah. Tak ada manusia yang sempurna. Bagaimana jika ternyata Tuhan (Kristen) ada? Bukankah Dia akan memasukkan orang tak percaya dan orang beragama lain ke neraka?

Disinilah taruhan saya akan menjelaskannya. Anggap saja Anda seorang ateis. Kemungkinan apa yang akan menimpa Anda?

Kemungkinan pertama, ternyata Tuhan tidak eksis. Dalam kasus ini maka kematian akan menjadi akhir semuanya. Dengan menjadi ateis, Anda telah menjalani hidup dengan baik dan dengan pilihan yang benar. Kemungkinan kedua, Tuhan ada, tapi Dia adalah  Tuhan yang tidak peduli dengan urusan manusia. Dia adalah sejenis Tuhannya kaum Deis. Tuhan tipe ini mungkin dulu menciptakan alam semesta, namun kemudian dibiarkanNya bekerja sendiri melalui hukum alam. Dalam kasus ini, jika Anda meninggal maka selesailah semuanya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh Dia tak peduli dengan urusan manusia.

Kemungkinan ketiga, anggap ternyata Tuhan eksis dan Dia peduli dengan urusan manusia, tapi Tuhan ini adalah Tuhan yang benar-benar adil.

Jika Dia adalah Tuhan yang adil, dia tidak akan menghukum manusia atas kesalahan jujurnya (kesalahan setelah mencari) apalagi jika orang ini tidak pernah berbuat jahat selama hidupnya.

Tuhan ‘jenis’ ini telah menciptakan manusia dengan dibekali akal untuk memahami dunia ini. Dia justru akan bangga pada manusia yang mampu menggunakan akalnya sebaik-baiknya. Meski manusia berbuat salah Dia akan tetap bangga, sebangga seorang ayah pada anaknya yang telah berusaha sebaik-baiknya, meski anak ini kadang juga berbuat salah. Itu sebab, jika ternyata Tuhan yang adil ini eksis, kita seharusnya tidak perlu merasa takut. Tuhan seperti ini tidak akan menghukum kita untuk sebuah kesalahan jujur.

Berikutnya kemungkinan terakhir. Anggap ternyata Tuhan itu ada, dan Dia bukanlah Tuhan yang adil. Tuhan yang mudah mengirim manusia ke neraka untuk kesalahan-kesalahan jujur dan sepele.

Di hadapan Tuhan macam ini, orang-orang beragama (Islam, Kristen) merasa aman dalam keyakinan mereka. Meskipun pada kenyataannya keamanan itu sifatnya ekslusif, hanya mencakup pemeluk agama sejenis. Dan kita tidak pernah tahu Tuhan versi Islam, Kristen, atau Yahudi yang benar.

Tapi mari kita telaah lebih lanjut. Ketidakadilan dicirikan dengan perilaku yang tidak bisa ditebak. Jika ternyata yang eksis itu Tuhan yang tidak adil, yang mudah mengirim manusia ke neraka, lantas apa yang membuat orang beragama merasa aman? Tuhan seperti ini bisa melakukan apa saja sesukanya tanpa perlu mengindahkan prinsip-prinsip keadilan.

Jika Tuhan ini begitu tega memasukkan manusia yang tak percaya atau beda agama ke neraka, Anda tidak dapat mempercayaiNya akan selalu memegang kata-kataNya. Tuhan semacam ini adalah Tuhan yang sadistik, menikmati ritual penyiksaaan manusia.

Jadi siapapun tidak akan pernah aman dibawah perintah Tuhan yang tidak adil ini. Orang seagama, orang lain agama, orang tak percaya, semua sama-sama dalam posisi yang tidak menguntungkan. Tidak ada yang punya posisi lebih baik.

Itu sebab, jika akan membuat taruhan, Anda juga harus menuruti apa yang dikatakan akal Anda bahwa ateisme adalah benar, karena siapapun tidak akan berada dalam posisi aman dibawah Tuhan yang tidak adil ini. Maka berdasarkan ini semua saya juga akan mengajukan taruhan bahwa Anda seharusnya menempatkan taruhan pada akal dan menerima konsekuensi logis darinya, yaitu ateisme.

Jika Anda bertaruh pada ateisme, jika ternyata Tuhan tidak ada maka Anda benar; jika ternyata Tuhan ada tapi Dia tidak tertarik dengan urusan manusia maka Anda tidak akan kena siksa; jika ternyata Tuhan ada dan Dia Tuhan yang adil, Anda tidak perlu khawatir karena Anda telah menggunakan akal Anda dengan jujur; dan jika ternyata Tuhan ada dan Dia Tuhan yang tidak adil, Anda tentu akan khawatir, tapi begitu juga yang lainnya, termasuk para penganut agama.

Ateisme harus selalu dipertimbangkan sebagai sesuatu yang menghargai akal untuk mencapai kebenaran.