Category Archives: Artikel

Nihilisme Nietzsche

Standar

Nihilisme (dari bahasa Latin nihil, berarti “tidak ada”) adalah pandangan filosofi, aliran, atau mazhab dalam filsafat, yang menolak aspek umum dan fundamental dari eksistensi manusia,seperti kebenaran objektif, pengetahuan, moralitas, nilai, atau makna kehidupan.¹
Nihilisme mungkin pertama kali digunakan oleh NI Nadezhdin, dalam sebuah artikel tahun 1829 di Messenger of Europe , di mana ia menerapkannya pada Aleksandr Pushkin².
Dengan kata lain, paham nihilisme menganggap segala sesuatu tidak berarti. Paham ini cukup ekstrim dalam mencari tujuan hidup.
Nihilisme merupakan istilah yang telah lama muncul, yakni sejak abad pertengahan, dan digunakan oleh kelompok klenik tertentu. Istilah ini muncul di Rusia pada abad ke-19, pada tahun awal kekuasaan Tsar Alexander II. Paham tersebut dianggap identik dengan gerakan revolusioner yang menolak otoritas negara, gereja, dan keluarga.³
Nietzsche adalah sosok yang sering kali dikaitkan dengan paham nihilisme. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Sebagai manusia perlu memberikan jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa dan akan kemana menuju.  Nihilisme memiliki beberapa pandangan: tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta. ⁴
Karya – karya Friedrich Nietzsche, seorang ahli filsafat dan kritikus budaya asal Jerman, memiliki pengaruh besar pada filsafat Barat dan sejarah intelektual. Ia terkenal karena kritik tajamnya mengenai moralitas dan agama tradisional Eropa, ide – ide filosofis konvensional, dan kesalehan sosial dan politik yang terkait dengan modernitas.
“Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya.” Itu adalah kutipan paling terkenal dari seorang filsuf legendaris Friedrich Nietzsche. Tapi ungkapan itu tidak bisa ditelan mentah-mentah. Ada kritik sosial yang terkandung dalam gagasan yang sering dikaitkan dengan kelahiran faham nihilisme itu.
ungkapan Nietzsche bisa dipahami sebagai penggambaran bagaimana ia memahami dunia sebagai realitas yang perlu dijalani tanpa mempersoalkan baik dan buruk sebagai standar moral yang mutlak. Menurutnya, manusia telah lama berada dalam cengkraman kekuatan supernatural atau ketuhanan yang tanpa disadari telah melucuti semua potensi vital manusia.
Manusia perlu nuansa baru, yakni nuansa yang bebas dari segala macam nilai dan nuansa yang lebih akomodatif bagi seluruh kreativitas masing-masing individu. Sejak itu, Tuhan seperti tak lagi akomodatif dan aspiratif bahkan dianggap menakutkan karena selalu mengamati perilaku manusia, sehingga ruang kebebasan manusia terpojok dan nyaris hilang padahal ekspresi kebebasan itulah yang mengidndikasikan betapa luhurnya keberadaan manusia.⁵
Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, apa perlu permainan-permainan suci yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata supaya layak akan hal itu (pembunuh Tuhan)”?⁶
Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik, tetapi juga kepada penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang objektif dan universal, yang mengikat semua individu. Tuhan yang dibunuh Nietzsche bukanlah Tuhan dalam pemahaman yang spiritualis, transendental, absolute, melainkan Tuhan yang menjerumuskan manusia pada dehumanitas seperti Tuhan-tuhan pagan yang dikerangkeng dalam kotak-kotak dikotomis, termasuk model keagamaan monoteisme – politeistik mayoritas kita.
Secara singkat dan sederhana nihilisme dapat diartikan sebagai runtuhnya nilai-nilai tertinggi dan kegagalan manusia menjawab persoalan “untuk apa”? Dengan runtuhnya nilai-nilai, orang dihadapkan pada persoalan bahwa segalanya menjadi tak bermakna dan tak ternilai. Setelah mengajukan persoalan nihilisme, Nietzsche mengajukan prinsip-prinsip untuk mengevaluasi seluruh nilai supaya dapat melihat nilai baru.Sejak awal karya-karyanya memperlihatkan minatnya pada bidang seni sebagai pengganti bidang moral yang selama ini membelenggu manusia. Belenggu yang kedua datang dari kesadaran yang berlebihan akan sejarah. Nietzsche ingin membebaskan orang dari beban moral dan beban sejarah.

Sumber:
1. Wikipedia
2.https://delphipages.live/id/politik-hukum-pemerintahan/politik-sistem-politik/nihilism
3.https://www.idntimes.com/science/discovery/monica-gracia/paham-nihilisme-c1c2
4.https://www.kompasiana.com/abidin01grabyagan/54f71c4fa33311b1228b47ca/nihilisme-vs-agama
5. Yulius Aris Widiantoro yang bertajuk Nihilisme sebagai Problem Eksistensial (2009) dalam https://voi.id/memori/16928/apa-arti-ungkapan-tuhan-telah-mati-nietzsche-sebenarnya.
6.https://spada.uns.ac.id/mod/assign/view.php?id=169882

Guru Bangkit dan Ajarkan Muridmu Pendidikan Perlawanan

Standar

e

Sudah biayanya mahal, mutunya kacau pula. Repot-repot kuliah, sebenarnya kamu cari apa, sih? Pasti cari ijasah! Barangkali muncul jawaban lain-lain, tapi sudah barang tentu “ijasah” yang memaksamu bertahan. Bertahan di bangku kuliah, diomeli dosen, kutak-kutek skripsi, dan ngurus perpanjangan studi. Bagi sebagian besar kita, pendidikan adalah jalan menuju ijasah, prestise, dan kerja. Padahal, pendidikan adalah alat perlawanan! Karena hakikat pendidikan ialah “membebaskan” manusia. Pendidikan harus mengambil posisi kritis terhadap tatanan sosial yang tak berkeadilan. untuk membuktikan bahwa penindasan dan manipulasi kuasa telah merusak hakikat manusia yang bebas dan berkesadaran.

Sudah terlalu lama guru berdiam diri terhadap apa yang dialaminya. Walau UU Guru telah hadir, itu bukan jaminan kebebasan dan kesejahteraan guru. Profesi guru bukan hanya kurang dihargai tapi juga kerapkali dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dan politik.

Kini saatnya guru melihat kembali bahwa “mengajar” bukan hanya memindahkan pengetahuan, tapi juga mendidik perlawanan. Wahai guru, jadikan siswa-siswimu orang yang tak hanya menghargai pengetahuan namun juga menghargai pekerjaanmu sebagai guru. Buatlah sistem pembelajaran yang mengenalkan realitas sosial, bukan sekedar melatih tipu-menipu.

Guru masa depan bangsa ini ada dipundakmu. Jangan sampai kau lahirkan murid yang kelak menjadi penjahat kemanusiaan atau koruptor. Sudah lama bangsa ini merindukan guru, yang mampu melahirkan siswa yang memiliki empati, kepedulian, dan tanggung jawab sosial.

paraf12

Sampingan

Perbedaan Mistisme Barat dan Timur

Irfan (mistisme): Irfan adalah sebuah jalan untuk sampai kepada Tuhan. Dengan kata lain, perasaan mendalam dalam diri seseorang dan penyerahan diri secara totalitas kepada-Nya dan cinta yang membuncah dengan sepenuh hati dan sepenuh jiwa yang berujung kepada sampainya orang tersebut kepada Tuhan. Dengan satu kata, irfan (mistisme) dapat disebut sebagai makrifat diri (makrifat nafs) yang berujung pada makrifat Tuhan.

Makrifat (makrifatuLlah): Yang dimaksud dengan makrifat adalah kondisi seorang arif yang disampaikan oleh Allah Swt ke maqam menjulang syuhud (penyaksian) yaitu menyaksikan Sang Kebenaran dimana hal ini tidak mungkin tercapai tanpa adanya perhatian dan kepedulian Tuhan kepadanya.

Irfan atau Mistisme Islam: Irfan (mistisme) Islam dapat dipandang sebagai makrifat dan pengetahuan yang dalam pengetahuan tersebut terdapat unsur cinta (isyq) yang terjalin berkelindan dengan bangunan wahyu dalam Islam.

Cinta (Isyq): Yang dimaksud dengan cinta adalah cinta kepada pelbagai penampakan (mazhhir) Tuhan dan pada puncak cinta kepada manusia sempurna yang merupakan penampakan paripurna nama-nama dan sifat-sifat Tuhan dan tajalli-Nya di alam semesta.

Imam: Manusia sempurna atau imam (dalam terminologi Syiah) sebagai kutub dan kanun Irfan adalah seseorang yang membawa (hamil) urusan immah (shahib al-amr) atau ruh yang turun pada malam lailatul qadar sebagaimana redaksi al-Quran, pada surah al-Qadar (97) ayat 4, Tanazzalu al-malaikah wa al-ruh bi idzni Rabbihim min kull Amrin. (Pada malam itu, para malaikat dan ruh (malaikat Jibril) turun dengan izin Tuhan mereka untuk menentukan segala urusan). Beritik tolak dari sini, imam merupakan tempat turunnya risalah dan kediaman turunnya para malaikat dan ruh sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah redaksi ziarah.[1]

Realitas ini laksana bulan-bulan di samping sang imam yang merupakan surya bagi para arif yang memiliki tingkatan-tingkatan dan telah sampai pada kesempurnaan puncak manusia.[2]

Kami cukupkan hingga di sini hal-hal yang terkait dengan sisi-sisi teoritis mistisme Islam (Irfan) dan kami persilahkan Anda bagi yang berminat untuk merujuk pada literatur-literatur Irfan dalam dunia Islam.

Mistisme Timur (Irfan Oksidentalis)

Mistisme Timur merupakan sebuah terma yang umumnya digunakan untuk memperkenalkan ragam tradisi mistisme (irfan) Timur Asia. Di belahan Timur Asia terdapat ragam tradisi mistisme, seperti mistisme Hindu, mistisme Budha, mistisme Jain, mistisme China dan Zen yang dapat dihukumi sebagai sebuah tradisi. Hal ini bermakna bahwa Timur Asia memiliki satu tradisi dan hukum yang berkenaan dengan ajaran agama Hindu, yang juga dapat dikenakan pada ajaran Budha dan Zen. Dengan kata lain, kendati ajaran Hindu berbeda dengan ajaran Budha demikian juga ajaran Budha berbeda dengan ajaran Zen dan sejatinya orang-orang Hindu memandang ajaran Budha sebagai ajaran illegal namun hal itu tidak menjadi masalah untuk memandang bahwa ajaran mereka adalah satu ajaran tunggal yang seluruhnya merupakan ajaran-ajaran Timur.

Perbandingan Mistisme Islam dan Mistisme Timur

Mistisme Islam memiliki kesamaan dengan mistisme Timur dari beberapa sisi. Sisi kesamaan itu dapat ditempatkan pada satu deretan namun terdapat sisi perbedaan nyata antara mistisme Islam dan mistisme-mistisme lainnya baik itu mistisme Timur dan juga mistisme Barat. Mengingat pertanyaan yang dilontarkan sekaitan dengan perbedaan mistisme Islam dan mistisme Timur maka di sini kami hanya akan menyebut sisi-sisi perbedaan antara mistisme Islam dan mistisme Timur.

Sisi-sisi Perbedaan Mistisme Islam dan Mistisme Timur

Sisi-sisi perbedaan mistisme Islam dan mistisme Timur dapat dikaji melalui dua sisi: Pertama, dari sisi internal dan kedua dari sisi eksternal serta hubungan-hubungan mistisme ini dengan dunia baru. Pertama-tama kita akan mengkaji sisi internal perbedaan dua jenis mistisme ini kemudian sebagai kelanjutannya membahas sisi eksternalnya.

1. Sisi internal perbedaan:

Sisi perbedaan ini dapat disimpulkan dalam tiga masalah:

A. Dalam sebuah perjalanan yang dilintasi oleh seorang slik (pelancong ruhani) dalam ajaran Budha tingkatan puncaknya adalah sampai kepada Nirwana. Seluruh dahaga dan kecendrungannya akan berakhir dan sampai kepada tepi kediaman (Nirwana). Karena itu, dalam pemikiran Timur Asia puncak tujuan dan kesempurnaan jalan adalah fana dalam Tuhan.

Dengan kata lain, apa yang dimaksud dengan maktab-maktab Timur Asia dan pada dunia kiwari yang menjadi obyek perhatian adalah busana-busana tingkatan penciptaan manusia keluar dari raga sehingga manusia melalui jalan ini kembali kejalannya semula. Karena itu, kefanaan adalah titik akhir perjalanan. Boleh jadi kefanaan ini bergabungnya Atma menjadi Brahma atau sampai kepada Nirwana. Namun dalam mistisme Islam setelah tingkatan fana salik akan sampai pada tingkatan baqa setelah fana. Dan arif adalah seorang yang setelah fana akan sampai pada tingkatan baq billh dan menjadi jelmaan Tuhan dan tempat tajalli-Nya.

Bagaimanapun masalah ini merupakan perbedaan utama antara mistisme Timur Asia dan mistisme Islam. Mistisme di Timur Asia menyasar fan fillh (fana dalam Tuhan) dan kita tidak akan menyaksikan baq billh (lestari dalam Tuhan). Lantaran apabila kita memiliki baqaa billah maka seharusnya kita akan menyaksikan dalam kondisi seperti itu pada saat bertahannya manusia juga terjelma dan termanifestasinya sifat-sifat Ilahi pada diri manusia. Namun hal ini tidak akan pernah terealisir pada mistisme Timur Asia.

Karena itu, tidak ada sisi baqa setelah fana dalam mistisme Timur Asia sementara dalam mistisme Islam seorang salik di jalan Allah setelah sampai tingkatan fana pada Allah, maka ia akan melewati kediaman baqa setelah fana. Khaja Abdullah Anshari dalam Rislah Shad Meidn yang menjelaskan seratus tingkatan dan derajat suluk setelah tingkatan sembilan puluh sembilan (fana) terdapat tingkatan seratus yaitu baqa.[3]

B. Dalam perspektif mistisme Islam, manusia yang memiliki corak Ilahiah dan berdirinya bersandar pada Tuhan, Tuhan memikul pekerjaan-pekerjaannya. Ucapannya adalah ucapan kebenaran. Sementara hal ini tidak dijumpai pada mistisme Timur Asia. Artinya pada mistisme Islam kita menyaksikan adanya penampakan manusia, yang pada saat ia tetap sebagai manusia ia juga memiliki corak Ilahiah pada dirinya. Dalam Islam Rububiyat merupakan hasil dari penghambaan (ubudiyyah). Namun tingkatan rububiyah dan khilafah Ilahiah manusia tidak akan kita dapatkan pada mistisme Timur Asia. Hal itu lantaran manusia seperti ini tidak akan pernah muncul, dan sebagai hasilnya maqam kenabian juga tidak akan pernah muncul. Dengan demikian, tidak satu pun pembesar mistisme Timur Asia baik itu dewa-dewa atau orang-orangnya seperti Sangkara atau bahkan Budha sendiri tidak pernah memandangnya dirinya diutus dan mendapat tugas kenabian.

Singkat kata perbedaan antara mistisme Timur dan mistisme Islam dapat disimpulkan dalam satu bait masyhur Hafiz Syirazi, makrifat yang diraup dalam mistisme Timur, (Dulu) Aku adalah malaikat dan firdaus adalah tempat kediamanku.[4] sementara hakikat mistisme Islam, Adam membawa (ku) menjejak bumi yang rusak (kemudian aku makmurkan).[5]

C. Masalah manusia dan cinta dalam mistisme Islam dibahas secara serius. Sementara cinta ini tidak terdapat dalam pemikiran Timur Asia. Artinya apabila kita ingin mengalegorikan mistisme Islam laksana samudra yang bergejolak dengan cinta. Alegori yang dapat kita tunjukkan untuk mistisme Timur Asia adalah pelukis satu gunung menjulang, tenang, dingin dan sedang tidur serta tidak satu pun badai semenjak azal hingga abad yang mampu menggoyangnya. Mistisme Islam lantaran adanya cinta dan manusia memiliki roman yang lain. Karena dalam mengapresiasi bumi maka lahirnya manusia.

Feresyte Isyq nadanad ke cist qesshe makhun

Bekha jam wa gulabi be khak Adam riz.[6]

Malaikat tidak mengenal apa itu cinta. Kisah mau dan tidak mau piala yang berisi cerry dituang ke tanah Adam.

Artinya cinta tergantung pada tingkatan kemanusiaan dan ekstraksi keindahan sang kinasih.

Kebanyakan konsep yang mengemuka pada Timur Asia adalah konsep-konsep abstrak kendati pada cabang mistisme Hindu kita menyaksikan adanya jelmaan-jelmaan cinta, inteleksi, mania. Namun jelmaan-jelmaan ini terpengaruh oleh mistisme Islam. Mistisme Timur Asia sejatinya lebih banyak diam, hening dan tenggelam dalam kefanaan.

2. Sisi Eksternal Perbedaan:

Adapun sisi eksternal perbedaan mistisme-mistisme Timur berbeda dengan mistisme Islam yang tidak bermasalah dengan kebudayaan politheis modernism dan peradaban liberal Barat. Dan satu-satunya wilayah yang sangat bermasalah dengan kebudayaan Barat adalah Islam. Al-Quran memperkenalkan syirik (politheis) sebagai aniaya terbesar. Di lain pihak, al-Quran memperkenalkan orang-orang beriman yang terjaga dari noda-noda syirik. Namun peradaban yang mengandung tradisi Budha dan Konfucu dengan mudah dapat berdampingan dengan Barat. Hal itu karena mistisme-mistisme Timur adalah pengikut ajaran-ajaran warisan dan tanpa jiwa. Dikarenakan hampa makrifat dan cinta kepada wali sempurna dan syariat yang hidup, usang dan mengalami penyimpangan maka untuk mengisi kekosongan makrifatnya pada wilayah-wilayah sosial, mereka dengan mudah tunduk patuh di hadapan peradaban Barat. Hanya mistisme Islam dengan perantara ajaran cinta terhadap jelmaan-jelmaan Tuhan dan perhatian terhadap batin agama pada saat yang sama perhatian terhadap syariat, mampu menjauhkan dirinya dari wabah modernisme. Karena itu, kita saksikan mental permissif peradaban Barat lebih cocok dengan mistisme-mistisme yang hampa syariat dan fikih seperti mistisme Budha dan Tao bukan dengan mistisme Islam.

Dari sisi lain, cinta merupakan ajaran tertinggi mistisme Islam yang membebaskan seorang arif Muslim dari kelemahan dan mati rasa kemudian merubahnya menjadi seorang manusia revolusioner. Karena itu, tuntutan penegakan keadilan dan semangat revolusi yang tertanam dalam dada setiap arif Muslim merupakan salah satu perbedaan lainnya mistisme Islam dan mistisme Timur. [IQuest]


[1]. Syaikh Shaduq, Man L Yahdhur al-Faqih, jil. 2, hal. 609, Intisyarat-e Jamee Mudarrisin, Qum, 1413. ?????????? ?????????? ??? ?????? ?????? ???????????? ?? ???????? ???????????? ?? ?????????? ?????????????? ?? ???????? ????????? ?? ???????? ??????????

[2]. Imam Khomeini Ra dalam menafsirkan surah al-Qadar memandang irfan (mistisme) sebagai ahli makrifat, memahami dua peristiwa naik dan turunnya hakikat (ruh). Beliau dengan penafsiran irfani, redaksi-redaksi layli dan ayym melakukan pembahasan hermenutik (takwil) dan memperkenalkan dua redaksi ini seabgai dua peristiwa agung naik dan turunnya ruh.

Ahli makrifat berkata bahwa tingkatan turunnya hakikat wujud berdasarkan tirai-tirai matahari adalah hakikat pada ufuk pelbagai entifikasi dan hal itu disebut layali. Dan tingkatan naiknya (shuud) berdasarkan keluarnya mentari hakikat pada ufuk entifikasi-entifikasi, dan hal itu disebut sebagai ayyam. Immah wa Insn Kmil az Didgh Imm Khomeini, Teheran, Muassasa Tanzhim-e wa Nasyr-e Atsar-e Imam Khomeini, Cetakan Kedua, 1385, hal. 189.

[3]. Khaja Abdullah Anshari, Rislah Shad Meidn, Ridha Baqiriyyan Muwahhid, Qum, Hudhur, 1385, hal. 117.

[4]. Man malak budam wa firdaus barinjayam bud.

Perbedaan Mistisme Barat dan Timur

Sebab Umat Islam Mudah Ditipu dan Dihasut

Standar

PERINGATAN!
Jika anda umat Islam,
Tahan emosi saat membaca tulisan ini

Penyebab umat Islam mudah ditipu adalah, karena umat Islam sudah keracunan oleh segala sesuatu yang berbau Arab. Mulai dari bahasa Arab, pakaian Arab, nama-nama Arab, kota-kota di Arab, sampai dengan makanan Arab. Dan semua itu, tanpa mereka sadari, tanpa mereka ucapkan sekalipun, adalah identik dengan Islam. Bahkan Tuhan pun dalam imajinasi mereka adalah keturunan Arab. Itu sebabnya mereka gemar menghafal do’a-do’a dalam bahasa Arab, yang kadang mereka sendiri tidak tahu apa artinya. Padahal dia berdoa. Yang namanya do’a adalah harapan yang sangat pribadi pada Tuhan. Tapi anehnya, do’a yang mereka baca adalah do’a-do’a standar dan klise dalam bahasa Arab. Kenapa itu selalu dan selalu berulang-ulang mereka lakukan? Karena bahasa Tuhan dalam benak mereka adalah bahasa Arab. Paling tidak, dalam alam bawah sadar mereka, bahasa Arab itu sakral. Bernilai adi kodrati.

Akibatnya, asal ada tulisan Arab, mereka cendrung menganggap itu tulisan yang bernilai Islami. Kadang dianggap hadist. Walaupun isinya entah apa. Asal ada lagu berbahasa Arab, mereka refleks menganggap itu lagu-lagu keagamaan, padahal bisa jadi itu lagu diskotik atau tari perutnya masyarakat Arab. Asal nama seseorang sudah berbau Arab, maka refleks mereka menilai orang itu baik, alim, taat, Islami. Padahal mereka lupa, semua penjahat di Arab namanya juga bahasa Arab. Asal pakaian seseorang seperti pakaian Arab, dalam imajinasi mereka terbayang bahwa orang tersebut Islami. Artinya seorang yang religius. Orang yang baik-baik. Padahal mereka lupa, para penjahat, koruptor, pelacur dan seterusnya di Arab, juga berpakaian yang sama. Dan begitulah seterusnya.

Intinya, kesadaran beragama umat Islam adalah kesadaran Arabisme. Dalam rangka menduplikasi kebudayaan Arab. Semakin mirip dengan Arab, maka semakin diyakini sekaan semakin Islami. Semakin religius. Semakin dianggap orang baik lagi mulia.

Dengan kata lain, itulah bukti bahwa rata-rata umat Islam (tidak semuanya) mudah ditipu. Itu sebabnya banyak partai politik menjual nama Islam dan istilah Arab untuk mengelabui rakyat. Itulah sebabnya banyak bisnis juga menggunakan simbol-simbol, nama dan istilah Arab untuk melancarkan bisnis merek untuk membidik target pasar umat Islam. Kenapa? Karena umat Islam gampang ditipu dengan segala yang berbau Arab.

Kemudian tentang umat Islam mudah dihasut.

Umat Islam sangat mudah untuk dihasut. Coba saja anda sholat dengan bahasa Indonesia. Apalagi sholat berjamaah. Maka dalam sekejap anda akan digosipkan, dikritik, bahkan mungkin dihujat sebagai pembawa ajaran sesat. Karena lazimnya sholat bagi mereka adalah menggunakan bahasa Arab. Apalagi jika seorang perempuan menjadi Imam. Maka dalam sekejap, bisa ditunggu perempuan tersebut tidak akan selamat dari tikaman sosial. Karena perempuan tidak layak memegang tampuk kepemimpinan. Apalagi jika yang dipimpinnya adalah laki-laki. Karena masyarakat Arab memandang perempuan itu hina dan tidak berharga (kasarnya begitu). Itu tampak dari beberapa ritual agama Islam. Misalnya jika menjadi saksi, maka 1 orang laki-laki nilainya sama dengan 2 orang perempuan. Jika ingin mengakikahkan anak, maka jika anaknya laki-laki, disembelih 2 ekor kambing. Tapi jika perempuan, cukup 1 ekor saja. Artinya, itulah kebudayaan Arab. Dan itulah yang diduplikasi oleh umat Islam. Karena itu jika anda ingin memanfaatkan kesadaran umat Islam ini, maka sangat mudah. Baik untuk menipu mereka maupun untuk menghasut mereka.

Saya pribadi miris melihat fenomena ini.
Menjadi Islam, dalam kesadaran mereka adalah dalam rangka menjadi Arab.
Padahal, kesadaran religius itu Universal. Roh mistik alam semesta.
Tanpa label tanpa nama tanpa bahasa.
Yang diperlukan hanya keasadaran bathiniah.
Dengan bahasa CINTA.

Pendidikan atau Mesin Industri

Standar

Zaman terus saja berputar. Konon, kini manusia telah memasuki peradaban modern yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi serta kemajuan industri untuk memenuhi segala kebutuhan manusia. Menghadapi zaman yang seperti ini, kebutuhan-kebutuhan manusia yang dahulu bisa dibilang sederhana saja, seperti sekadar makan, tempat tinggal, pakaian, atau kendaraan, kini detailnya menjadi bermacam-macam dan rumit. Manusia semakin dimudahkan dengan berbagai kecanggihan yang pada zaman dahulu tak pernah terbayangkan, namun juga dihadapkan pada banyak masalah yang tidak ringan.

Salah satu masalah penting yang dihadapi manusia adalah terjauhkannya dari aspek kemanusiaannya tatkala terlalu jauh masuk dalam kepentingan kapitalisme modern. Belum lagi adanya dominasi kekuatan besar yang ingin menguasai manusia pada umumnya untuk kepentingan kekuasaan ekonomi, politik, atau bahkan ideologi tertentu. Pada saat seperti ini, peran pendidikan diyakini penting untuk menjaga hakikat kemanusiaan agar tiada tergerus begitu saja atau membawa kembali kemanusiaan pada wilayah yang sesuai dengan fitrahnya. Jangan sampai kehidupan yang dianggap canggih justru membuat manusia kehilangan kebebasannya karena manusia telah diperlakukan dengan tidak adil sebagai sesama manusia oleh pihak yang lebih berkuasa.

Dalam sebuah bukunya yang berjudul Pendidikan Populer; Membangun Kesadaran Kritis, Mansour Fakih berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan ideologi dominan yang tengah berlaku di masyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu kehidupan masyarakat yang adil. Tugas yang penting ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil.

Namun, sayang sekali, pendidikan yang dianggap sebagai wahana penting untuk menjaga hakikat dari kemanusiaan ini justru menjadi mesin industri bagi kepentingan pasar. Pendidikan dalam banyak sisi justru melakukan proses peminggiran rasa kemanusiaan karena peserta didik diposisikan sebagai objek yang dikerahkan oleh perangkat pendidikan untuk dijadikan manusia-manusia yang siap pakai di dunia industri dan pasar global. Siap pakai yang dimaksudkan di sini tak ubahnya sebagai mekanik yang sesuai dengan keinginan pasar dan industri. Bila sudah begini, peserta didik akan berlaku tak ubah seperti robot-robot yang sudah tentu semakin terjauh dari kemanusiaannya. Inilah sebuah proses pembelajaran yang berorientasi pada pendidikan mekanistis-materialistis.

Proses pembelajaran yang sudah terpola untuk berorientasi pada pendidikan mekanistis-materialistis sesungguhnya akan sulit untuk mengarahkan pembentukan karakter pada diri anak didik yang kritis dalam menghadapi persoalan kehidupan. Hasil dari pendidikan seperti ini juga akan sulit untuk mempunyai kepekaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Padahal, mempunyai jiwa yang kritis dan peka terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat adalah manifestasi dari sebuah pribadi yang tercerahkan dan cerdas. Bila keadaan pendidikan sudah seperti ini, tentu peran pendidikan bukan mencerahkan manusia dan kembali kepada hakikat kemanusiaannya, melainkan justru membawanya menjauhi hakikat kemanusiaan.

Ciri utama dari pendidikan yang mekanistis-materialistis, jika ditinjau dari teori filsafat, materialisme diartikan sebagai paham yang menegasikan dimensi ruhiyah atau nilai-nilai spiritual. Dalam praktiknya, pendidikan yang seperti ini cenderung menekankan penguasaan materi-materi pengetahuan tanpa bobot moral-spiritual yang memadai. Sebagai akibatnya, pendidikan akhirnya dinilai gagal dalam membangun karakter manusia yang cerdas dan bermoral. Pendidikan tak ubahnya seperti mesin industri yang hanya menghasilkan lulusan yang siap untuk digunakan sesuai dengan kebutuhan dalam kehidupan modern.

Penekanan pendidikan sebagaimana tersebut biasanya hanya mengembangkan unsur kognitif daripada unsur afektif yang ada pada diri anak didik. Transformasi ilmu pengetahuan akhirnya hanyalah merupakan penjejalan beragam teori dan informasi atau tak jarang bersifat sangat mekanis. Jadi, tak ada penekanan untuk mengadakan internalisasi nilai-nilai di dalamnya. Praktik pendidikan yang demikian tentu jauh pula dari pengembangan cara berpikir yang kritis terhadap segala persoalan yang terjadi, apalagi menentang dengan mengembangkan sistem baru dalam mengatasi masalah kemanusiaan yang membelenggu.

Apabila orientasi utama pendidikan adalah memenuhi kebutuhan pasar semata maka lembaga pendidikan menjadi mesin industri yang siap memenuhi pesanan pasar. Anehnya, model pendidikan demikian yang sering dinilai sebagai pendidikan yang unggul dan bermutu. Lulusannya langsung dibutuhkan dan diserap oleh pasar yang sesungguhnya adalah kapitalisme global. Sungguh, bila pola pendidikan yang demikian tidak diubah, selamanya akan terjebak dengan kepentingan kapitalisme global yang kita semua tahu telah menjauhkan manusia dari fitrahnya.

Dunia pendidikan tidak lagi menjadi tempat untuk mendapatkan dan mengasah pencerahan, melainkan hanyalah laksana mesin industri yang siap memproduksi anak didik sesuai dengan pesanan pihak yang membutuhkan. Para pemesan dari dunia pendidikan kita sebagian besar dari dunia industri yang kapitalistik. Akibat langsung dari kenyataan semacam ini adalah terjadinya pola-pola kapitalisme dalam dunia pendidikan. Hal ini tentu memprihatinkan. Sebab, dunia pendidikan semestinya menjadi wahana untuk menjadikan anak didik kembali atau senantiasa pada fitrahnya sebagai manusia yang tidak meninggalkan kemanusiaannya, akan tetapi justru terjebak dalam kapitalisme global yang menguntungkan sekelompok tertentu, satu di antaranya adalah para pemilik modal. Sungguh, pendidikan yang semacam ini tidak boleh diperpanjang demi kemanusiaan yang lebih baik di masa mendatang.

Dengan demikian, sudah saatnya untuk bersama-sama menyadari bahwa betapa pentingnya pendidikan berfungsi sebagai wahana untuk membangun kesadaran anak didik agar tetap menyadari kemanusiaannya. Pendidikan jangan sampai menjadi mesin industri sehingga menjadikan anak didiknya robot-robot kapitalisme. Sungguh, pemahaman seperti ini bukan berarti tidak pro dengan perkembangan teknologi dan industri yang memang berguna bagi kehidupan manusia modern. Akan tetapi, jangan sampai pendidikan menjadi mesin industri hingga melupakan untuk membangun kesadaran akan hakikat kemanusiaan.