Category Archives: Artikel

MAAF, Tuhan Telah Wafat

Standar

Melihat maraknya debat dan perseteruan sengit antar agama, maupun antar kelompok manusia mengatasnamakan “Tuhan” melalui agama, sungguh amat menyedihkan. Mereka tega saling membunuh dan menyakiti hanya lantaran “membela kebenaran” yg katanya difirmankan oleh “Tuhan”, entah melalui kitab suci, rasul, atau nabi mereka masing-masing. Sebenarnya, kalau mau ditelaah dengan jujur, konsep “kebenaran” atau bahkan konsep “Tuhan” dalam agama-agama sangat tidak obyektif, sehingga ada “benar” versi A, ada “Tuhan” versi B, dll.

Konsep “Tuhan” kemudian direduksi menjadi konsep “kebenaran”. Agama hanyalah kumpulan konsep-konsep tersebut. Oleh karena sudah diturunkan turun temurun, jarang ada orang mempermasalahkan hakiki dari konsep-konsep itu. Pihak ulama dengan seenaknya, sesuai dengan kepentingan mereka, melarang dan mengutuk usaha mempertanyakan “kebenaran” sejati dari apa-apa yg selama ini dianggap “suci” sehingga tabu dipertanyakan.

Menurut agama-agama, “Tuhan” sebagai sumber dari “kebenaran” adalah maha segalanya. Suatu konsep yang bagus seharusnya, tapi sayang, “Tuhan” dipersonifikasikan sebagai Yang Maha Positif saja: Maha Tahu, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dll. Walaupun tidak jarang, dalam kitab suci mereka, “Tuhan” bisa marah besar, menghukum, dan menciptakan neraka untuk penyiksaan yg amat jauh dari rasa kasih sayang. Konsep ini penuh kontradiksi, yang cenderung mendorong pengingkaran terhadap kenyataan. Padahal kenyataan adalah satu-satunya kebenaran sejati. Bagi siapa saja, di mana saja, kapan saja, kenyataan selalu menang, tak bisa diganggu gugat, termasuk oleh “Tuhan” agama-agama itu.

Kalau doa tak dikabulkan dikatakan sedang diuji. Kalau diterpa bencana alam dikatakan manusia sedang dalam ujian. Dalam pertikaian masing-masing pihak “membela Tuhan”-nya sekaligus minta “bantuan Tuhan”. Taliban yang yakin bahwa mereka “membela” dan “dibantu Tuhan” toh harus menghadapi kenyataan pahit. Bangsa Indonesia yang agamis, sehingga yakin akan “Tuhan” Yang Maha Pemurah, dengan doa-doa bertebaran, toh semakin banyak saja hutangnya menuju kebangkrutan. Alasan yg diberikan ulama adalah “Tuhan” hanya merestui orang yang berusaha, orang yang ikhlas, dll, nah, “Tuhan” ini kemudian diturunkan tingkat ke-“maha”-annya semau orang yang mengintepretasikannya.

Ujian yang tak ada habisnya, kenyataan pahit yang tak mungkin dihindari, “Tuhan” yg bisa bertingkah pilih-pilih, “Tuhan” yang terus membisu walau” pembelanya” sudah berusaha mati-matian, ini bertentangan dengan konsep “Tuhan” dalam agama-agama, yang kemudian harus”diselamatkan” oleh kaum ulama dengan alasan-alasan yang tidak logis. Konsep “setan” adalah salah satu usaha penyelamatan kaum ulama terhadap konsep “Tuhan” mereka. Sebenarnya konsep ini tidak menyelamatkan muka “Tuhan”, tapi justru mengecilkan ke-Maha-an “Tuhan” yang karena itu memiliki kompetitor dalam usaha mengambil hati manusia menjadi pengikutnya.

Tuhan sejati yang berkaitan langsung dengan kenyataan memang memiliki semua karakteristik Maha, seperti kosmos yang menunjukkan kebesarannya terhadap semua makhluk hidup. Kosmos memberi makan, memberi kenikmatan, keberhasilan, tapi juga kematian, kesengsaraan, kegagalan, bahkan kehancuran. Itulah wajah hakiki dari Tuhan yang Maha-Maha itu. Apanya yg mau dibela, apanya yang mau dipertentangkan. Semuanya sudah jelas dipertontonkan alam dalam kehidupan ini.

Orang mengenal Tuhan, kebenaran sejati, tidak perlu melalui ilusi yg diajarkan agama-agama, melalui “Tuhan” Maha Positif mereka. Contohnya, para ilmuwan sudah terbiasa mengenal Tuhan sejati melalui keilmuannya. Para astronom, fisikawan, kimiawan, ahli biologi, melalui kenyataan agung yang mereka pelajari, mulai dari sel-sel hidup, kode genetik, partikel subatomik, sampai kedahsyatan alam semesta, menyatakan takluk terhadap kebenaran sejati.

Kenetralan alam semesta adalah kebenaran sejati. Kasih dan benci juga bagian dari kebenaran sejati. Adalah suatu keunikan bagi umat manusia bahwa ia mempunyai alam pikir untuk memilih. Kesempatan memilih adalah kebenaran sejati bagi manusia. Memilih jalur kasih atau jalur kebencian jelas memiliki konsekuensi sendiri-sendiri, dimana “Tuhan” Maha Positif tidak akan ikut campur.

Boleh dikata seluruh umat manusia ingin hidup bahagia, nah ini perlu usaha. Adalah kenyataan sejati bila manusia lebih dekat ke kesengsaraan daripada kebahagiaan. Jangan harap menuai panen tanpa bersusah menanam. Jangan harap kaya tanpa tekun berusaha. Jangan harap jadi pandai tanpa belajar. Adalah kenyataan pula bahwa manusia seketika (tanpa usaha) bisa menjadi melarat, tertimpa bencana, sakit dan mati. Pendek kata, kesengsaraan adalah proses spontan, tapi kebahagian perlu dibangun dengan keringat.

Untuk bahagia perlu kedamaian, artinya hidup bahagia BERSAMA dengan orang lain. Kedamaian juga harus dibangun dengan kerja riel, tidak seperti lawannya, yaitu permusuhan, yang bisa dibuat dalam sekejap. Untuk memperoleh teman sejati tidak semudah mendapatkan musuh. Kata kunci perdamaian adalah KASIH. Tanpa kasih hidup tidak akan damai. Jadi semuanya konsekuensi logis dari keinginan manusia untuk hidup sejahtera. Tapi manusia bebas memilih, Tuhan sejati tidak akan pernah melarang, mau hidup dalam kebencian ya silakan, asal mau menerima konsekuensi tidak adanya kedamaian, dus tidak ada kebahagiaan sejati.

Konsep “Tuhan” Maha Positif bisa membantu umat mencapai kasih, asal bisa menghindari risiko bias menuju pengingkaran terhadap kenyataan sejati. Banyak orang yang berhasil, tapi juga tidak sedikit orang yang gagal. Dunia moderen yang serba mungkin sungguh menambah kompleksitas usaha peningkatan kualitas batin ini. Ilusi-ilusi seringkali menjerumuskan mereka yang salah memilih, dan “Tuhan” Maha Positif tidak bisa lagi diharapkan bantuannya.

Semuanya mengalir seperti air sungai menuju laut, alamiah. Mau melawannya? Mustahil, karena kenyataan selalu menang. Mau berdoa kepada “Tuhan” Maha Positif agar datang menolong? Maaf, “Tuhan-Tuhan” itu telah lama wafat.

Buanglah Agama Pada Tempatnya

Standar

Tak akan bosan saya dalam membicarakan agama dan manusia secara kritis, bukan karena sentimentil ataupun paranoid, bukan juga dalam rangka memojokan siapapun. Hal demikian disebabkan karena saya adalah manusia, bukan hantu, karena saya berhak untuk berbicara dan berpendapat. Lalu apakah keuntungan saya membicarakan agama dan manusia? Apa yang akan saya dapatkan jika saya membahasnya, apakah demi uang, komentar manis, pujian, kehormatan, pengakuan, tepuk tangan, sertifikat, dukungan, atau yang lainnya? Ataukah saya tidak punya pekerjaan yang jelas, lantas berbicara dan menulis tanpa mengingat waktu dan tempat? Mungkinkah saya tidak waras? Terserahlah, terserah kalian para manusia menganggapnya, yang jelas saya menikmati pikiran saya, seperti orang-orang yang menikmati untuk menghancurkan dan membunuh manusia lainnya atas nama kebenaran, suatu klaim kebenaran atas nama dirinya dan golongannya sendiri.

Bagi saya agama adalah candu terberat yang ada di muka bumi ini, dia lebih candu dari narkotika jenis apapun, sangat merusak siapapun penikmatnya seperti halnya narkotika yang merusak pikiran-pikiran manusia. Saya berkata demikian bukan berkata omong kosong dan tidak keruan, silahkan anda buktikan dan pikirkan sendiri. Abad ini, di negeri ini, sejak terlahir sebagai manusia langsung diperkenalkan dengan yang namanya agama, beranjak tumbuh disaat memulai untuk menduduki bangku sekolahan tetap diperkenalkan dengan agama, beranjak dewasa tetap diperhelatkan dengan agama sampai dimasa tua tetap berbicara agama. Seumur hidupnya manusia di negeri ini berbicara dan menganut agama, mulut berbusa-busa, mata merem-melek, jantung berdecak menghayati ayat-ayat yang dilontarkan oleh seorang orator ulung. Sangat hebat bangsa ini jika berbicara tentang moral dan agama, ayat-ayat suci disalin dan dilekatkan dalam prinsip hidupnya, indah sangat. Sekarang kembali ke realitas dan fenomena kehidupan di negeri ini, lihatlah dengan membuka mata selebar-lebarnya, dengarlah dengan seksama dan perhatikanlah, apakah yang sedang terjadi?

Ada yang menyebut negeri ini adalah negeri bedebah, negeri budak, sarang teror, sarang perampok. Kenapa semua itu bisa terjadi? Siapakah yang harus bertanggung jawab? Apakah saya sendiri dan berharap merubah diri sendiri? Sampai kapan? Sampai ajal didepan mata? Ketika saya telah menghancurkan dunia ini, ketika saya sudah lanjut usia, ketika saya tidak pernah sadar dan tetap menghancurkan dunia ini, ketika semuanya telah punah, ketika tak ada lagi yang tersisa karena saya tak pernah tersadarkan kemudian mati bersama-sama dengan kepunahan manusia.

Lalu apakah gunanya agama dan mempelajarinya jika negeri ini telah hancur berkeping-keping? Ya, memang begitu adanya, agama memang hanya sekedar menyenangkan dan menghibur hati, jika nanti mati sampai nanti, sampai bertemu di sorga ilahi dan ditemani oleh para dewi. Melupakan dunia saat ini, disini.

Moral VS Agama = ?????

Standar

Bagaimana jika ternyata moral tidak berasal dari agama? Pertanyaan itu muncul setelah para peneliti makin mengerti tentang apa itu moral. Selama ini, karena sifatnya yang abstrak, manusia beranggapan bahwa sesuatu yang membuat manusia baik (yaitu, moral) berasal dari Tuhan yang mengajarkannya melalui agama. Tapi kini, para ilmuwan mulai menemukan definisi konkrit dari moral, dan pengetahuan ini menyadarkan mereka bahwa ternyata moral tidak semistis yang selama ini dibayangkan.

Salah satu peneliti yang paling giat mempelajari moral adalah seorang ahli Biologi dari universitas Harvard, yaitu Marc Hauser. Definisi Hauser tentang moral, secara sederhana, adalah sesuatu di dalam diri manusia yang membuatnya mampu menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, WALAUPUN kadang manusia tidak tahu apa alasannya. Contohnya, adalah saat Anda melihat seorang pengemis yang masih kanak-kanak. Kemungkinan besar Anda akan merasa bahwa hal yang baik adalah memberikan uang kepada pengemis itu, walau mungkin Anda tak tahu mengapa Anda merasa hal itu baik.

Hauser membuat beberapa soal untuk menguji moral manusia, yang beberapa diantaranya dapat Anda baca di sini. Coba lihat apakah Anda memiliki moral yang sama dengan sebagian besar masyarakat, dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

1. Dani sedang berdiri di depan persimpangan rel, disamping sebuah tuas yang bisa digunakan untuk memindahkan lajur kereta. Sebuah kereta sedang melaju ke arah Dani. Di rel utama, terdapat 5 orang yang tidak menyadari datangnya kereta. Di rel yang berfungsi sebagai rel tambahan, terdapat 1 orang yang sedang duduk dan akan terlindas jika kereta lewat sana. Haruskah Dani memindahkan kereta ke rel tambahan untuk menyelamatkan 5 orang, tetapi membunuh 1 orang?

dani1

2. Alan juga berada di persimpangan rel, di samping tuas, dan sebuah kereta sedang melaju ke arahnya. Tetapi, 5 orang yang tidak menyadari datangnya kereta, berada di titik dimana persimpangan rel sudah menyatu kembali. Hanya saja, di rel tambahan ada seseorang yang sangat gendut, yang mana apabila kereta menabrak dia, kereta akan berhenti. Haruskah Alan memindahkan kereta ke rel tambahan agar kereta menabrak orang gendut dan menyelamatkan 5 orang?

alan1

3. Maman berada pada situasi yang sangat mirip dengan Alan. Tetapi, di rel tambahan, tidak ada orang gendut, melainkan sebuah besi besar yang juga akan menghentikan kereta jika tertabrak. Hanya saja, sayangnya ada seorang pejalan kaki yang sedang melintas, dan akan terlindas kereta jika kereta memasuki rel tambahan. Haruskah Maman mengarahkan kereta ke besi besar untuk menyelamatkan 5 orang, tetapi mengorbankan si pejalan kaki?

maman1

Ketiga cerita tersebut memiliki kesamaan, yaitu, mengorbankan satu orang untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa. Tetapi, karena kondisinya berbeda-beda, jawaban yang dihasilkan juga berbeda.

Untuk cerita kesatu, 90% responden Hauser mengijinkan Dani untuk memindahkan rel. Pada cerita kedua, mayoritas pembaca tidak akan menyetujui Alan untuk mengorbankan si orang gendut. Untuk cerita ketiga, mayoritas pembaca akan setuju Maman mengarahkan kereta ke besi besar, walaupun mengorbankan si pejalan kaki. Hal yang menarik adalah, banyak dari orang yang mengikuti penelitian Hauser (mungkin sama dengan Anda) tidak mengetahui alasan dari perbedaan jawaban ini. Pokoknya, mereka yakin itu yang terbaik. Inilah yang disebut dengan moral.

Lalu, bagaimana jika pertanyaan ini diberikan kepada orang ateis? Jika agama adalah sumber dari moral, harusnya jawaban orang ateis akan berbeda. Hauser menanyakan cerita di atas pada mereka yang tidak percaya Tuhan. Hasilnya? Tidak terdapat perbedaan dengan orang yang beragama.

Tapi, mungkin jawaban orang ateis tersebut disebabkan oleh budaya. Hauser pun membawa cerita-ceritanya ke suku Kuna, yang tidak banyak berinteraksi dengan budaya barat, dan tidak memiliki agama. Hasilnya? Kembali tidak ada perbedaan.

Lalu, jika moral terbukti ada di dalam diri setiap manusia, bahkan yang tidak beragama, maka darimanakah asal moral? Karena agama bukan jawabannya, maka saya berpaling ke salah satu tokoh sekuler untuk meminta penjelasan, yaitu Charles Darwin.

Darwin mengatakan, bahwa manusia yang ada di masa ini, adalah manusia yang berhasil melewati seleksi alam. Karena manusia membutuhkan bantuan mahluk lain untuk selamat, maka manusia yang berhasil bertahan adalah mereka yang memiliki sifat baik atau penolong (altruis). Sifat baik ini kemudian diturunkan secara gen ke generasi selanjutnya, sehingga menjadi bagian dari cara berpikir manusia, bahkan kadang tanpa disadari. Oleh karena itu, pada saat lahir, manusia normal sudah memiliki seperangkat aturan baik-buruk yang ia warisi dari orang tuanya.

Saya melihat penjelasan Darwin ini cukup masuk akal dan dapat dibuktikan melalui data historis dan genetis. Lalu, benarkah kita tidak butuh agama untuk menjadi orang baik?

Sumber:
– Hauser, M (2006). Moral Minds: How Nature Designed our Universal Sense of Right and Wrong. New York: Ecco.
Diskusi mengenai teori Darwin.

Sistem Pendidikan Pasar, Cara Melawan Dan Solusinya

Standar

Pendidikan merupakan hal yang paling menentukan dalam kemajuan suatu bangsa, semakin maju pendidikan suatu bengsa, semakin maju pula bangsa tersebut.

sementara pendidikan suatu negara akan sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi-politikyang diterapkan oleh negara tersebut, dengan kata lain baik buruknya suatu sistem pendidikan akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan siapa yang bermain dalam pembuatan kebijakan pendidikan suatu negara.

Jika ideologi suatu negara tersebut adalah ideologi kapitalisme yang mengedepankan indiviualisme maka sistem pendidikannyapun akan diarahkan untuk itu, sebaliknya jika sistem ideologinya adalah sebuah ideologi kolektif yang mengedepankan kepentingan sosial diatas kepentingan individu maka sisitem pendidikannyapun akan diabdikan untuk kepentingan sosial.

Mari kita mulai melihat sistem pendidikan indonesia dan sebaiknya kita mulai dari mengkaji sejarah sistem pendidikan indonesia, karena dengan itu, kita akan melihat dengan terang kelemahan-kelemahan sistem pendidikan yang pernah diterapkan di masa lalu dan mencoba menawarkan solusi untuk itu. Agar kita tidak terjebak pada keslahan-pedalahan sejarah.

Mengungkap orientasi sistem pendidikan dalam Sejarah Pendidikan Indonesia

1. Awal perkenalan masyarakat indonesia pada sistem pendidikan fomal dan kebangkitan gerakan rakyat indonesia melawan kolialisme

Pergerakan kaum liberal di belanda akhirnya mengalami kemengannya, dengan merebut struktur kekuasaan negara monarki dan merubahnya menjadi struktur negara monarkhi parlementer (konstitusional).

Hal ini diakibatkan oleh semakin menguatnya tenaga-tenaga produktif (alat kerja dan tenaga erja) yang semula berbasis pertanian (dimana tanah dikuasai oleh kerajaan) manjadi sebuah negara yang yang berbasis industri yang banyak dikuasai oleh para pedagang borjuis yang berwatak liberal.

Pada akhirnya perubahan ini berakibat pada perbubahan mendasar di negeri nusantara, kaum borjuis yang telah berkuasa akhirnya merubah sistem kolinialnya di Hindia Belanda (Nusantara-Indonesia) dari sebuah sistem kolinal yang primitif menjadi sebuah sistem kolonial yang lebih modern yang menggunakan alat-alat modern (mesin-mesin) perbuahan tersebut tentunya membutuhkan tenaga ahli untuk menjalankannya. Disinilah kaum borjuis belanda menerapkan sebuah program yang di Indonesia disebut politik etis (politik balas budi)[2]. Sebuah program pemerintah kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja murah.

Salah satu isi dari program tersebut adalah bagaimana membekali masyarakat indonesia dengan pengetahuan secukupnya untuk dapat dipekerjakan di kantor-kantor (industri-industri milik borjuasi belanda) hindia belanda, disinilah pertama kali masyarakat indonesia mengnal pendidikan formil sekitar abad 20.

pendidikan pada masa kolonial ini sangat diskriminatif, yang dibolehkan bersekolah lebih tinggi adalah hanya anak-anak bangsawan saja. Sementara anak petani tidak dibolehkan untuk bersekolah lebih tinggi agar tenaga mereka dapat digunakan secepatnya untuk menjalankan mesin-mesin, selain untuk mencegah perlawanan dari anak petani yang selama ini ditindas dalam sistem kolonialisme yang mereka terapkan.

Sementara banyak diantara anak-anak bengsawan, yang disekolahkan ke negeri belanda, mereka inilah yang kemudian sadar dan membentuk babakan baru sejarah indonesia “babakan pergerakan rakyat indonesia”, mereka membentuk organisasi-organisasi, melakukan pengorganisiran massa, dan bahkan membuat sekolah-sekolah rakyat gratis untuk anak-anak petani, disini pulalah makna demokrasi, nasionalisme, dan kemerdekaan mulai diperdengarkan, yang pada akhirnya melahirkan banykanya pemberontakan-pemberontakan buruh dan tani yang dimulai dengan kemunculan serikat buruh salah satunya adalah ISDV (1949).

Sistem pendidikan yang selama ini dianggap akan memberikan keuntungan bagi belanda, akhirnya menjadi bumerang bagi pemerintahan kolonial hindia belanda.

Dieropa pada tahun 1939 perang dunia II meletus, fasisme jeraman menyerbu polandia, dan jepang mengusir pemerintahan belanda di Hindia Belanda. Babakan baru akhirnya dimulai. Pemerintahan belanda di ganti dengan kekuasaan militer fasis jepang.

Pada masa pemerintahan jepang di Indonesia, pendidikan diorientasikan pada pendidikan kemiliteran, ini bertujuan untuk mendapatkan tenaga perang untuk menghadapi perang dunia II, memang tujuan jepang menjajah hindia belanda hanya untuk menjadikan indonesia sebagai pengkalan militer di indonesia, dengan merekrut lebih banyak masyarakat indonesia manjadi militer dan merampas kekayaan alam indonesia untuk tentara-tentara jepang yang sedang menghadapi perang dunia II.

Kemunculan beberapa organisasi kemiliteran seperti PETA, HEIHO dll, menjadi buktinya. Sementara organisasi gerakan rakyat dilarang, meskipun masih ada beberapa organisasi gerakan rakyat yang bergerak di bawah tanah seperti Gerakan Anti-Fasis (GERAF) dan Gerakan Indonesia Merdeka (GERINDOM)

perjuangan gerakan yang melelahkan untuk merebut kemerdekaan, akhirnya mencapai puncaknya. Pada tanggal 16 agustus jepang akhirnya kalah terhadap sekutu yang didahului oleh jatuhnya bom di dua kota sekaligus yaitu kota Nagasaki dan Hiroshima di negara jepang.

Pada tanggal 17 agustus soekarno-hatta yang masih ragu-ragu, berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk segera memproklamirkan kemerdekaan indonesia. Sistem pemerintahan Berganti, berganti pula tujuan/ideologi negaranya, pada pemerintahan soekarno, skenario yang pertama kali dilakukan oleh soekarno dan kabinetnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan.

Agresi militer belanda I dan II yang berujung pada konferensi meja bundar, disertai dengan pemberontakan ke,merdekaan RI di beberapa daerah, dll mengakibatkan kebijakan negara harus mengambil tindakan ini. Ujungnya, penerapan dekrit yang salah satu pointnya adalah kemandirian ekonomi dengan menasionaslisasi aset asing (gerakan benteng) harus diterapkan. Kebijakan ini diambil selain untuk mengatasi perpecahan, juga karena pengaruh pemikiran blok timur yang pada wakti itu sedang berkonfli dengan blok timur.

Kebijakan ini akhrnya menrubah kebijakan pendidikan indonesia, kebijakan pendidikan yang diterapkan adalah kebijakan pendidikan yang diarahkan untuk memenuhi kemandirian ekonomi indonesia, sebuah kebijakan pendidikan yang mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat.

Akhirnya kebijakan ini, berimbas pada peningkatan sumber daya manusia yang dapat kita lihat dari banyaknya tenaga terdidik indonesia yang digunakan sebagai tenaga pendidik di negara lain. Juga semakin banyaknya para siswa dari negara lain yang datang bersekolah di Indonesia

2. Orde Baru dan kebijakan pendidikan pasar

Pertarungan blok timur dan blok barat untuk memperebutkan indonesia akhirnya berakhir, pada tahun 1965 terjadi pembumi hangusan gerakan kiri di indonesia yang dilakukan oleh kekuatan militer di bawah pimpinan soeharto yang dibantu oleh CIA kepntingan CIA adalah membuka pasar indonesia menjadi lebih liberal, agar modal mereka dapat bebas di Indonesia. Di indonesia, lapak sejarah tragis yang hari ini menuai kontroversi, disebut gerakan 30 september. Pergolakan ini pada akhirnya, menaikkan seorang militer ketampuk kekuasaan yaitu soeharto.

Kebijakan ekonomi pasar mulai diterapkan, modal-modal asing mulai antri dan membagi-bagi tiap lapak tanah kekayaan indonesia. Tapi satu kendala yang harus diselesaikan, yaitu kekuarngan tenaga ahli untuk menjalankan mesin-mesin baru hasil dari infestasi asing yang dilakukan. Untuk itu satu-satunya solusi untuk mengatasi kendala tersebut adalah mengubah sistem pendidikan menjadi sistem pendidikan yang mengabdi pada kepentingan investor asing (kebutuhan pasar tenaga erja). Yang tentunya merubah orientasi sistem pendidikan.

Pendidikan masa ini, tidak lagi berorientasi untuk memanusiakan masnusia, tapi berorantasi untuk menghasilkan tenaga buruh murah untuk dipekerjakan diindustri-industri baru hasil investasi asing. Di sini, pendidikan telah ditarik pada sifat keilmiahan sistem pendidikan, suatu hal yang paling penting dalam pembangunan sistem pendidikan. Para peserta didik tidak diperbolehkan mempelajari sesuatu hal yang tidak dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja. Sehingga banyak hal yang pada dasarnya dibutuhkan oleh para peserta didik untuk dipelajari malah dibuang dan tidak diajarkan karena dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja

Selain itu, sistem pendidikan Idnonesia dijadikan sebagai alat hegemoni negara, banyak pelajaran-pelajaran yang di ajarkan di institusi-institusi pendidikan indonesia yang bertujuan untuk menciptakan ketundukan terhadap negara. Ini berfungsi, selain untuk menjaga peserta didik agar tidak melawan pada tuan modal disaat mereka memasuki dunia kerja, juga untuk mencegah pemberontakan-pemberontakan yang akan dilakukan oleh kaum intelektual.

Diterapkanlah sistem pendidikan 12 tahun untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang hanya membutuhkan tenaga-tenaga lulusan sekolah dasar (SD). Dan sekolah-sekolah dasar ditambah jumlahnya yang saat ini dapat ita hitung bawa ditiap RT dapat kita temui sekolah-sekolah dasar yang dibuat sejak pemerintahan ORBA berkuasa.

Sementara, sekolah-sekolah mengengah pertama dikurangi jumlahnya (apalagi sekolah-sekolah menegah atas -SMA) dengan harga yang sangat mahal, hal ini merupakan kesengajaan, karena pasar kerja telah menunggu mereka, diharapkan setelah tamat SD tenaga didik tidak lagi melanjutkan sekolahnya ke SMP dan langsung memasuki dunia kerja.

Akibatnya, pengangguran tenaga terdidik semakin hari semakin bertambah, karena selain semakin majunya industri, yang tidak tidak lagi dapat terkejar oleh kurikulum pendidikan, membengkanya tenaga terdidik yang tidak seimbang dengan penambahan lapangan kerja semakin memperparah kondisi pengangguran.

Tapi pemerintah tidak kehabisan akal pemerintah kemudian menerapkan sebuah kebijakan baru, lulus belajar 9 tahun, untuk mengejar ketertinggalan kurikulum sistem pendidikan yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

Belum lagi dengan kebijakan pemerintah saat itu menerapkan NKK/BKK, yang menjauhkan mahasiswa pada persoalan-persoalan politik kemasyarakatan secara umum . Mengakibatkan mahasiswa dikampus-kampus harus gagap ketika mereka telah keluar dan bergaul dengan masyarakat.

Jika ditambah dengan orientasi sistem pendidikan yang tidak mengkaji tentang persoalan-persoalan umum masyarakat (tapi untuk kebutuhan pasar) dan cara menyelesaikannya maka maka lengkaplah sudah, pendidikan indonesia tidak lebih dari sistem pendidikan yang membodohi peserta didik saat itu.

Sistem pendidikan diformat sedemikian rupa untuk mengakomodasi kepentingan pengusaha dan penguasa. Bukan pendidikan yang dutjukan untuk bagaimana memberikan sumbangsih untuk memajukan kepentingan umum.

Pihak swastapun mulai melirik sistem pendidikan ini sebagai sebuah wadah untuk dapat memperkaya diri, dengan memanfaatkan ketidak mampuan pemerintah dalam menyediakan sekolah-sekolah mengengah, dan banyak diantara para siswa yang ingin melanjutkan sekolahnya ke sekolah yang lebih tinggi. pihak swastapun diberikan kesempatan untuk mendirikan sekolah-sekolah, dalam bentuk yayasan.

Institusi pendidikan swasta ini, memiliki kwalitas hasil didik yang sangat minim dengan biaya yang sangat mahal.

Sistem pendidikan hari ini (era reformasi), sebuah sistem pendidikan yang liberal

Sekali lagi, cermin sistem pendidikan akan mudah ditebak dari sistem ekonomi-politik yang diterapkan oleh negara tersebut, sistem pendidikan orde baru merupakan sistem pendidikan yang mengabdikan dan hidup dari investasi asing sehingga sistem pendidikannyapun diabdikan untuk itu.

hari ini, sistem pendidikan tetap diabdikan untuk itu, bedanya pada masa orde baru, negara masih mengabdi pada sistem ekonomi keynesian (sistem ekonomi kapitalis yang bersifat proteksionis, sebagai obat dari sistem ekonomi liberal), sementara sistem ekonomi yang diterapkan hari ini adalah sistem ekonomi kapitalis yang bersifat liberal baru (neo-liberal), dimana tidak boleh negara campur tangan pada wilaya ekonomi (mengedepankan kepentingan privat diatas kepentingan masyarakat)

tentunya, sistem pendidikan hari ini, tidak hanya dijadikan sebagai institusi untuk menghegemoni dan pencetak tenaga kerja produktif yang murah bagi kapitalis, tapi juga dijadikan sebagai alat untuk mengakumulasi modal.

Hal ini terutang dalam kesepakatan WTO yang memasukkan pendidikan dalam salah satu alat sektor perdagangan, bersama dua belas sektor lainnya, yaitu ; bisnis, komunikasi, konstruksi, distribusi, lingkungan, keuangan, kesehatan, turisme, rekreasi, transportasi dan jasa lainnya.

Ini merupakan kepentingan besar dari perusahaan-perusahaan penyedia jasa pendidikan internasional (mis : harvard university dll), yang juga ingin menanamkan modalnya di negara-negara dunia ketiga temasuk indonesia, sementara kita tahu salah satu watak kapital bahwa dia baru bisa hidup jika dia mampu menghancurkan saingan-saingannya, adakah saingan-saingan itu?

para perusahaan-perusahaan penyedia jasa pendidikan ini tentunya tidak ingin mengambil resiko, institusi pendidikan Idonesia akan sama posisinya dengan sektor-sektor lain bagi mereka seperti pertanian, industri perminyakan yang dikelola oleh pertamina dll, dia harus mau bersaingan dengan modal sendiri bukan dari negara.

Disinilah mengapa semua institusi pendidikan di Indonesia harus komersial, harus mandiri dan otonom.

kita dapat mengambil contoh dari beberapa perguruan tinggi negeri yang kini telah otonom dengan konsep Bada Hukum Milik Negara. Diakui bahwa fasilitas dari universitas-universitas yang elah BUMN tersebut dapat meningkat tapi untuk membiayai itu semua bersumber dari hasil memeras mahasiswa dan dosen.

Kita bisa melhat SPP universitas Indonesia telah meningkat dari tahun ketahun, data tahun 2004 telah mencapai dua juta rupiah persemesternya, sementara gaji donsen bahkan ada yang hanya empat ratus ribu rupiah/bulannya, sudah begitu, doosen-dosen ini merupakan dosen-dosen yang status kerjanya tidak jelas karena status kerja mereka kebanyakan kontrak.

Inilah sekelumit dari persolan pendidikan hari ini, sebuah konsep yang aturannya tengah digodok di DPR yaitu rancangan Undag-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan sebuah perwujudan dari liberalisasi pendidikan seperti yang dijelaskan diatas.

Sistem pendidikan ini, tentunya hanya mengejar keuntungan diatas kepentingan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena institusi pendidikan dipandang sebagai salah satu bentuk usaha yang dapat mendatangkan keuntungan.

Bagamana sistem pendidikan yang seharusnya?

kita telah mengurai secara singkat kondisi pendidikan Indonesia, permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, kini tiba saatnya kita mencari satu solusi terhadap permasalahan-permasalahannya. Sebuah sistem pendidikan yang nantinya akan lebih mampu memanusiakan manusia dan mampu berguna baik bagi peserta didik mupun untuk masyarakat Indonesia.

akan sangat terlalu dini untuk mengambil kesmpulan dan meletakkan sebuah dasar soluisi sistem pedidikan, akan tetapi kita dapat meniru beberapa sistem pendidikan yang telah diterapkan dibeberapa negara yang telah menerapkan sistem ekonomi-politik alternatif seperti Venezwela, Kuba dan lan-lain.

Atau degan cara membalik sistem pendidikan kita dan mencoba menerapkannya dalam setiap pendidikan organisasi-organisasi, maupun pendidikan rakyat yang bisa kita inisiasi sendiri.

Misalnya jika sistem pendidikan kita hari ini berorientasi untuk memenuhi pasar tenaga kerja, maka sistem pendidikan yang kita tawarkan adalah sistem pendidikan yang berorientasi untuk memakmurkan rakyat. Dimana sistem pendidikan di atur sedenikian rupa untuk dapat menjawab dan memecahkan fenomena yang terjadi dimasyarakat. Hal ini akan menjawab persoalan dimana keluaran-keluaran sistem pendidikan selama ini yang tidak mampu menjawab tantangan saman. Kadang-kadang apa yang diajarkan pada sebuah sistem pendidikan sangat jauh dari kenyataan lapangan.

Persoal Pembiayaan Pendidikan

Selama ini, sistem pendidikan dianggap oleh pemerintah sebagai beban ekonomi inilah sebabnya mengapa pemerintah akan menyerahkan sistem pendidikan kita kepada pihak swasta, selain karena paksaan dari pihak korporasi internsaional untuk segera melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendidikan.

Pembiayaan pendidikan , seharusnya dijadikan sebagai sebuah investasi bagi negara dalam bentuk sumber daya manusia yang akan dipetik hasilnya dalam bentuk peningkatan produktivitas ekonomi masyarakat.

untuk mengatasi persoalan pembiayaan, kita dapat menanggulanginya dengan subsidi silang yang dibayarkan oleh anak-anak kaya, yang dilakukan dengan menggunakan prosentase pendapatan bulanan orang tua, mirip dengan pajak progresif. Misalnya, rentang pendapatan sampai dengan Rp 1 juta per bulan dikenai 0,5% untuk pendidikan dasar; 1% untuk pendidikan menengah; dan 5% untuk pendidikan tinggi. Prosentase ini berlipat dua untuk rentang penghasilan bulanan Rp 1 juta sampai Rp 2 juta.

Peningkatan Mutu Pendidikan di bawah Sistem Pasar?

Standar

Sistem Pendidikan nasional saat ini sudah dalam cengkeraman mekanisme pasar, hal ini bisa dibuktikan dengan semakin kuatnya dominasi swasta dalam pengelolaan pendidikan. Di lapangan politik, pemerintah maupun DPR sangat gencar menggoakan kebijakan perundang-undangan dan peraturan lainnya, untuk mempermudah pendidikan di lemparkan dalam mekanisme pasar. Namun, sebuah argumentasi sangat ganjal selalu di lemparkan oleh pemerintah, DPR, maupun intelektual pendukung neoliberalisme, bahwa dengan keterlibatan swasta dalam dunia pendidikan akan meningkatkan mutu (baca;kualitas) pendidikan nasional. Logikanya sangat sederhana, bahwa keterlibatan swasta akan memperbanyak modal dan secara simultan akan mendorong penyediaan fasilitas dan sarana-prasarana pendidikan yang modern. Rumus yang sama di berlakukan oleh seymour Lipset dalam teori demokrasi bahwa kualitas dan tingkat kemajuan demokrasi ditentukan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi dan kapasitas tekhnologi sebuah bangsa. Dengan memakai perincian Lipset, maka demokrasi hanya akan di temukan di negara-negara Industri maju dan masyarakat tehknologi tinggi di masa yang akan datang. Sedangkan demokrasi akan absen di negara-negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi rendah, dan kapasitas tekhnologi yang lemah pula.

Dari titik inilah perdebatan muncul dan mengemuka, soal korelasi dan hubungan saling mempengaruhi antara mekanisme pasar dan kualitas pendidikan. Jika memakai pendekatan pendukung Neoliberal, maka di temukan kesimpulan bahwa kebebasan ekonomi, pertumbuhan, dan hukum pasar akan memompa kualitas pendidikan. Pandangan ini telah menjadi common sense dalam masyarakat pendidikan Indonesia, termasuk kaum intelektual di Universitas yang membiarkan RUU BHP dan Perpres 77/tahun 2007 menggilas dunia pendidikan.

Pendidikan dan Hukum Pasar

Pendidikan harus memanusiakan manusia menurut Paulo Freire, sehingga output utama dari pendidikan adalah aspek penyadaran (conscientitation), dan kontribusi sosial (pengabdian). Pendidikan Manusia sesungguhnya oleh Freire adalah mereka yang menyadari dirinya ebagai aktor yang aktif, penentu dan bertanggung jawab terhadap segala peristiwa diri dalam keseluruhan peristiwa jagad raya. Dengan demikian, pendidikan adalah proyek humanisasi terhadap nasib kemanusiaan. Tujuan pemenuhan kebenaran dan menjawab tuntutan jaman sudah menjadi komitmen awal, ketika para filsuf mengajarkan betapa pentingnya pendidikan bagi umat manusia. Namun, di bawah sistem kapitalisme pendidikan akan dilemparkan dalam mekanisme pasar, dalam hal ini pendidikan hanya akan dijadikan instrumen untuk melipatgandakan capital. Ketika pendidikan sepenuhnya sudah dalam hukum pasar, maka tiga variabel yakni negara, masyarakat, dan industri akan memainkan peranan-peranan yang berbeda-beda. Negara tidak lagi mengurusi soal pembiayaan dan mobilisasi sumber daya untuk pendidikan, di sisi lain negara akan mempertahankan kepentingannya untuk tetap menanamkan stabilitas lewat indoktrinasi lembaga pendidikan.

Sedangkan Industri akan mengembangkan sayapnya, memperluas lahan-lahan untuk produksinya, dan memegang kendali atas orientasi pendidikan. Keterlibatan industri dalam pendidikan bukan hanya dalam aspet pelipatgandaan kapital tetapi juga berkepentingan terhadap output pendidikan berupa; mobilisasi tenaga kerja murah, dan hasil-hasil riset perguruan tinggi.

Dalam hukum pasar ada beberapa hal yang harus di cermati; Pertama pasar merupakan arena memperjualkan belikan komoditi, dalam hal ini adalah pendidikan. Metode transaksinya bisa beraneka ragam; bisa dengan cara tawar-menawar, mematok harga dasar di dipajang di komoditi tersebut, dan lain-lain. Kedua prinsip utama pasar adalah kompetisi bebas antara produsen dan konsumen, ataupun antara sesama konsumen dan sesama produsen. Dengan menyandarkan pada mekanisme pasar, maka nantinya masyarakat dan peserta didik akan bertransformasi menjadi konsumen, guru dan aparatus pendidikan menjadi agen/perangkat, sedangkan lembaga pendidikan yang dibelakangnya adalah korporasi bertindak sebagai produsen (pemilik modal). Ketiga kualitas sangat ditentukan oleh promosi dan kemasan, namun secara substantif belum tentu bermutu.

Tujuan pendidikan yang mulia sudah barang tentu akan berkontradiksi dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh pasar. Tidak ada jalan damai atau kolaborasi positif diantara keduanya, kecuali pasar akan tampil sebagai dominasi dan aktor utama yang menghisap dan menundukkan variabe lainnya. Lantas kita mau bertanya soal bagaimana kualitas pendidikannya?

Kualitas Pendidikan Ala Pasar

Pendukung Neoliberal tidak akan sanggup menyembunyikan tujuan utama mereka membiarkan pendidikan dalam mekanisme pasar. Situasi real pendidikan nasional saat ini menunjukkan bahwa pendidikan telah menjadi komoditi yang diperdagangkan. Dan memang sangat menggiurkan bagi pemilik modal mengingat bahwa Indonesia adalah pasar yang menguntungkan dengan penduduk yang berjumlah 200 juta lebih dan sekitar 102, 6 juta penduduk usia sekolah akan dijadikan pangsa pasar. Kembali kepersoalan mampukan sistem pendidikan pasar yang menjual peningkatan kualitas dan prasarana pendidikan akan memajukan kualitas pendidikan?

Jawabannya, jelas tidak! Alasannya sederhana; pertama mekanisme pasar telah menempatkan pendidikan sebagai komoditi yang hanya bisa diakses oleh konsumen yang memiliki kesanggupan. Dengan situasi ini, secara simultan sekolah juga telah melepaskan potensi dari peserta didik yang sebenarnya memiliki kesanggupan dan kecerdasan intelektual, namun oleh karena miskin akhirnya mereka di tolak oleh lembaga pendidikan. Kampus-kampus negeri berkualitas seperti UI, UGM, ITB, IPB dulunya memberlakukan seleksi yang ketat (SPMB atau UMPTN) terhadap calon mahasiswa. Sehingga yang masuk kekampus tersebut adalah benar-benar mahasiswa berkemanpual intelektual tinggi, meskipun mereka dari keluarga miskin (karena biaya pendidikan masih murah). Sekarang, orang-orang miskin meskipun memiliki kemampuan, tidak akan mendapatkan kesempatan masuk ke kampus–kampus tersebut karena biaya pendidikan makin mahal (mekanisme pasar—BHMN). Banyak jalur-jalur non seleksi yang dibuka oleh Universitas untuk menampung anak-anak orang kaya yang memiliki kemampuan ekonomi bisa membeli. Kedua di bawah syarat-syarat kepentingan korporasi, maka kurikulum pendidikan akan diabdikan untuk kepentingan sesaat (mendesak) pasar tenaga kerja. Misalnya, pembukaan jurusan atau mata kuliah akan disesuaikan dengan kebutuhan pasar bukan lagi berlandaskan pada penggalian pengetahuan secara mendalam dan saintis. Ketiga Orientasi pendidikan termasuk orientasi mahasiswa dan dosen akan bergeser untuk memenuhi kebutuhan pragmatis mereka. Seorang mahasiswa hanya akan menjadikan pendidikan sebagai syarat formal untuk memperoleh Ijazah, sedangkan dosen akan menganggap mengajar untuk mengejar profit bukan lagi pada pengabdian sosial. Keempat serbuan produk (alfa mart, KFC, dll) akan menumbuhkan budaya hedonisme dan konsumtif di massa mahasiswa. Kehidupan intelektual di kampus akan bergeser menjadi tidak ubahnya budaya di mall atau tempat-tempat hiburan.

Dan terakhir, membenarkan apa yang dikatakan oleh Ivan Illich bahwa pendidikan ala pasar hanya akan menjadikan manusia seperti robot-robot dan bahan eksperimen dunia industri. Ketika pendidikan diikat oleh kepentingan pasar, maka selanjutnya pendidikan akan kehilangan roh ilmiah, demokratis,dan keteguhan komitmen sosialnya. 

 Rudi Hartono: Pemerhati Dunia Pendidikan dan Ketua I EKSNAS Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)