Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 45 tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan dan Nomor 46 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Ujian Sekolah Nasional Tahun Pelajaran 2010/ 2011.
Formula baru UN 2011 memberi pembobotan 40% untuk nilai sekolah dan 60% untuk nilai UN. Nilai sekolah diperoleh dari gabungan antara nilai ujian sekolah dan nilai rata-rata rapor: semester 1, 2, 3, 4, dan 5 untuk SMP/MTs dan SMPLB; serta semester 3, 4, dan 5 SMA/MA dan SMK. Pembobotannya: 60% untuk nilai ujian sekolah dan 40% untuk nilai rata-rata rapor. Nilai gabungan ini selanjutnya disebut nilai sekolah/ madrasah (NS/M), yang ikut diperhitungkan dalam penentuan kelulusan UN.
Memang keputusan pemerintah untuk merubah sistem kelulusan pada Ujian Nasioanal tahun 2011 ini memenuhi rasa keadilan. Hanya saja keputusan ini, membuat banyak sekolah berlomba-lomba mengadakan perubahan nilai raport peserta didik yang tidak menunjang untuk membawanya menuju kelulusan pada UN tahun ini. Cara merubah nilai di raport pada semester 1,2,3,4 dan 5 dengan mengadakan remedial. Perubahan ini terpaksa dilakukan oleh sekolah jika tidak ingin anak didik mereka gagal dalam UN 2011.
Yang lebih memprihatinkan adalah kemerdekaan bagi guru-guru untuk memberikan nilai kepada peserta didik juga harus hilang. Mengapa ? karena pendidikan sudah bukan lagi merupakan domain sekolah, tatapi sudah menjadi domain pemerintah kota/kabupaten. Para kepala daerah berlomba untuk mempertahankan dan meningkatkan presentase kelulusan siswa di daerahnya. Mereka sangat bekepentingan dalam meningkatkan jumlah kelulusan siswa bagaimapun caranya. Memang hal ini sangat wajar sekali, akan tetapi apa yang mereka sampaikan hanya himbauan kepada sekolah-sekolah bukan menyusun program – program nyata dalam peningkatan mutu pendidikan. Berapa banyak pelatihan dan pendidikan yang diberikan pada guru setiap tahunnya, tidak banyak bahkan nol %. Guru dipaksa untuk dapat mensukseskan tingkat kelulusan siswa, hal yang terburuk pun bisa dilakukan dengan membocorkan soal ujian sekolah maupun ujian nasioanal.
Implikasi terhadap peserta didik
Sudah menjadi rahasia para calon peserta ujian nasional sejak dulu bahwa sekolah lebih takut murid gagal dalam ujian nasional dari murid itu sendiri. Mereka sudah tidak merasakan ketegangan dalam menghadapi ujian karena mereka sangat percaya diri bahwa mereka akan dikirimi MALAIKAT pembantu untuk menyelesaikan soal-soal sesulit apapun. Persiapan-persiapan yang digembar – gemborkan di mass media mass media oleh banyak sekolah sebenarnya hanyalah kamuflase untuk menutupi kebobrokan lembaga pendidikan itu. toh pada akhirnya mereka akan melakukan kecurangan walau itu sebenarnya pahit tapi keadaan lah yang membuat mereka harus melakukan itu semua, sangat ironis sekali pendidikan kita ini
hal kedua, indonesia akan mencetak para calon koruptor-koruptor besar dimasa mendatang karena para perserta didik sudah diajarkan untuk berbuat curang untuk mereka dapat lulus dalam ujian. Pendidikan karakter yang telah diberikan oleh sekolah selama 6 semester dirusak pada akhir pendidikan mereka. Terakhir para guru juga sudah hilang sikap idealismenya, karena mereka tak berdaya mendaptkan tekanan dari atas maupun bawah jikalah mereka menjalankan apa adanya. Siapkan sekolah melihat kelulusan pada tingkat satuan pendidikannya dibawah 50 %? tentu tidaak, guru juga butuh makan dan pekerjaan.
Lantas bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh para guru, haruskah mereka berani menjadi setitik embun di samudra kebohongan ini?
entahlah……
harus berani karena guru memang seharusnya menjadi setitik embun itu,bukan ikut ikutan tenggelam dalam samudra pembodohan hanya demi perut.