PEMBELAAN NYONO DIMUKA MAHMILLUB

Standar

PEMBELAAN – NYONO – DIMUKA MAHMILLUB

PADA TANGGAL 19 PEBRUARI 1966

===============================================

Dipublikasikan Pada Situs Indo-Marxist–Situs Kaum Marxist Indonesia, 16 Februari 2002

Yth, Saudara Ketua dan para Anggota Mahmillub,

Terima kasih sebesar – besarnya saya sampaikan kepada Mahmillub yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk membuat pembelaan.

Waktu memulai menyusun pembelaan ini dikamar tahanan yang bertembok – beton dan berterali – besi, mendesinglah di telinga saya nada yang bersemangat kuat dari sebuah lagu baru yang tercipta di Rumah Tahanan Khusus Salemba. Lagu baru ini adalah lagu “Barisan Sukarno”.

Syairnya dimulai dengan kata – kata sbb :

Tegap berderap

Barisan Sukarno

Dikota,didesa,dimana – mana

Teguh bersatu

Membenteng baja

Bagaikan banteng gagah perwira.

Saya tidak bermaksud menyanyikan lagu baru itu dimuka Mahmillub.hal ini saya kemukakan disini untuk mengiring isi hati yang hendak saya nyatakan sejujur – jujurnya. Yaitu hingga sekarang Partai saya, Partai Komunis Indonesia tetap mengakui P.Y.M.Presiden Sukarno sebagai PBR sebagaimana di tetapkan oleh MPRS. Hingga sekarang tidak ada pernyataan politik dari Presiden/PBR Bung Karno yang tercinta yang menegaskan bahwa PKI adalah salah satu Partai kontra – revolusioner, sebaliknya masih di akui sebagai satu Partai yang revolusioner. Oleh karenanya saya masih berhak untuk menyatakan bahwa saya termasuk salah seorang “Barisan Sukarno”. Maka itu dalam membuat pembelaan saya berusaha sekuat tenaga berpedoman kepada ajaran – ajaran Revolusioner dari Presiden Sukarno serta petunjuk – petunjuk pelaksanaannya.

Dalam Amanat Presiden Sukarno dihadapan wakil – wakil Partai Politik di Guesthouse Istana, Jakarta, tanggal 27 Oktober 1965, ditegaskan bahwa “…………………….kejadian 30 September bukan sekedar kejadian 30 September, tetapi adalah suatu kejadian politik didalam Revolusi kita”. Selanjutnya dinyatakan, bahwa untuk dapat bertindak bijaksana tidak gegabah, harus diselidiki dan dipelajari proloog, fakta peristiwanya sendiri dan epiloog dari pada “G. 30. S”. Penegasan Presidaen ini saya jadikan pedoman dalam membahas persoalan “G.30.S”.

Saya sudah kemukakan bahwa proloog daripada “G.30.S” adalah adanya rencana kudeta dari Dewan Jenderal. Dalam bahasa sehari – hari dapat dikatakan bahwa gara – gara ada Dewan Jenderal maka ada Dewan Revolusi. Ada atau tidak ada Dewan Jenderal itulah persoalan politik yang pertama – tama harus diselesaikan. Dengan adanya persidangan Mahmillub sekarang ini, persoalan Dewan Jenderal telah menjadi persoalan terbuka bagi Rakyat. Saya percaya bahwa Rakyat pasti akan ikut membicarakannya berdasarkan pengalaman – pengalaman politik Rakyat sendiri. Dan selama darah Rakyat masih mengalir, Rakyat akan menjadi hakimnya yang akan menentukan siapakah yang benar dan yang salah, siapakah yang emas dan yang loyang.

Dalam requisitoirnya, Oditur menyimpulkan bahwa soal Dewan Jenderal hanyalah satu fitnahan rendah belaka dari PKI yang dilemparkan kepada alamat Angkatan Darat. Dalam membuat kesimpulan ini Oditur berbuat tidak konsekwen. Kepada saya Oditur menyatakan bahwa saya mengemukakan adanya Dewan Jenderal tanpa pembuktian hanyalah bersandar kepada tanggapan – tanggapan politik yang subyektif spekulatif mengenai apa yang saya namakan informasi – informasi, politike aanwaijzingen, fakta – fakta politik, analisa sosial – historis dll-nya. Saya ingin bertanya mengapa oditur boleh menyimpulkan dalam requisitoirnya tentang “PKI membuat fitnahan mengenai Dewan Jenderal” berdasarkan tanggapan – tanggapan politik Oditur sendiri dan tanpa pembuktian mengenai apa yang dinyatakan oleh Oditur bahwa PKI dihinggapi Angkatan – Darat Phobi; bahwa PKI berpendirian supaya Angkatan – Darat hanya menjadi alat negara tok ; bahwa “pemberontakan Madiun ” menjadi sandaran social – historis dari “G.30.S.” , bahwa PKI mau melakukan pelompatan tahap revolusi Indonesia dll-nya. Meninjau kata – kata Oditur hal – hal yang diajukan oleh Oditur itu merupakan fitnahan – fitnahan rendah yang dilemparkan kepada alamat PKI. Fitnahan -fitnahan rendah Oditur ini tidak akan saya bahas disini, karena saya akan langsung bicara mengenai persoalan pokoknya yaitu apakah keterangan tentang adanya Dewan Jenderal merupakan satu fitnahan politik ataukah satu kenyataan politik ? Saya tetap berpendirian bahwa hal itu merupakan satu kenyataan politik. Pertimbangan – pertimbangannya adalah sbb. :

Pertama :Memang benar bahwa fakta – fakta tentang Dewan Jenderal saya dapat dari informasi – informasi. Dalam hal ini saya minta diperhatikan oleh Oditur dan Mahkamah Milter Luar Biasa pernyataan P.Y.M. Menteri Kehakiman Astrawinata SH yang berulang – kali menyerukan kepada Rakyat untuk memberikan social control dan “social support” dibidang pengusutan dan peradilan.

Informasi – informasi yang saya kemukakan didapat dari pejabat – pejabat pemerintah yang kompetent dan diperoleh tidak hanya dari satu pihak, tetapi dari berbagai pihak, bahkan ada yang dari pihak – pihak resmi seperti BPI dan informasi SUAD I. Malahan saya pernah mendapat keterangan dari kalangan “Lubang Buaya” bahwa Kejaksaan Agung juga sudah menerima laporan – laporan tentang Dewan Jenderal. Laporan – laporan ini diberikan oleh Brigadir Jenderal Sunaryo Pembantu Menteri Jaksa Agung.

Sifat dari pada informasi – informasi tersebut adalah terperinci, gedetaillerd dengan menyebut tanggal, jam, tempat, nama, acara, persoalan dan lain – lainnya.

Saya bertanya apakah informasi – informasi yang saya peroleh dari banyak sumber dan sifatnya gedetaillerd, boleh dibilang semacam “inside informations” bisa dianggap sebagai kabar angin belaka ? Bagi akal sehat, hal – hal yang sedemikian setidak – tidaknya bisa diterima sebagai “social control” dan “social support” sebagaimana dimaksudkan oleh Y.M.Menteri Kehakiman Astrawinata SH untuk dilakukan pengusutan lebih lanjut oleh alat – alat keamanan negara. Untuk menguatkan pendapat saya ini, izinkanlah saya memberikan beberapa contoh tentang informasi – informasi yang bersifat gedetaillerd tersebut.

Contoh pertama adalah tentang komposisi keanggotaan Dewan Jenderal. Yang saya masih ingat ialah bahwa tidak semua jenderal masuk dalam Dewan Jenderal. Jumlah anggotanya kurang lebih 40 Jenderal, diantaranya kurang lebih 25 orang aktif menjalankan politik Dewan Jenderal. Tokoh – tokoh utamanya ada 7 orang yaitu Jenderal Nasution, A.Yani, Suparman, Haryono, Suprapto, Sutoyo, dan Sukendro.

Contoh lain ialah adanya rapat pleno Dewan Jenderal seingat saya pada tanggal 21 September 1965, di AHM, Jl. Dr.Abdulrachman Saleh Jakarta. Yang berhalangan datang adalah Jenderal – Jenderal A.H.Nasution dan A.yani. Rapat pleno tersebut dipimpin oleh almarhum Suparman dan Haryono serta mensyahkan rencana komposisi Kabinet Dewan Jenderal dan menetapkan waktu dilakukannya kudeta, yaitu sebelum Hari Angkatan Perang pada tanggal 5 Oktober 1965.

Tentang rencana komposisi Kabinet Dewan Jenderal dapat dikemukakan yang pokok – pokok saja yaitu:

Perdana Menteri – Jenderal A.H.Nasution

WPM/HANKAM-KASAB – Jenderal A.yani

WPM/Pembina Jiwa Revolusi – Men. Pen Jendr. Dr.Ruslan Abdul Gani

Menteri Dalam Negeri – Jenderal Suprapto

Menteri Luar Negeri – Jenderal Haryono

Menteri Kehakiaman – Jenderal Sutoyo

Menteri Jaksa Agung – Jenderal Suparman, dll-nya.

Demikian beberapa contoh informasi – informasi yang bersifat gedeta illeserd. Apakah informasi – informasi yang demikian terperinci itu dapat dianggap sebagai “hisapan – hisapan jempol” belaka ?

Kedua : Saya telah kemukakan bahwa dalam prakteknya Dewan Jenderal merupakan satu golongan politik tersendiri. Disini perlu saya tegaskan, karena tidak semua jenderal masuk dalam Dewan Jenderal maka Dewan Jenderal adalah satu golongan politik tersendiri dari Jenderal – jenderal tertentu yang menjalankan politik nasakom – phobi, khususnya komunisto – phobi, hal mana adalah bertentangan dengan politik Presiden Sukarno. Apakah bukti – buktinya ? Saya kemukakan satu informasi politik yang boleh dicek kebenarannya, yaitu seingat saya pada tanggal 8 Juni 1965, bertempat dirumah kediaman WPM Chairul Saleh, atas undangan Menko Hubra Dr.Ruslan Abdul Gani telah dilangsungkan pertemuan antara almarhum Jenderal – jenderal A.Yani dan Haryono dengan tokoh – tokoh PNI antara lain Pak Ali Sastroamijoyo. Dalam pertemuan tersebut diusulkan oleh almarhum Jenderal A.Yani dan Haryono serta Jenderal Sukendro untuk membentuk kerjasama PNI-FN dengan TNI untuk melawan PKI, usul mana tidak mendapat sambutan dari tokoh PNI yang hadir dalam pertemuan tsb.

Apa informasi tentang kegiatan anti – komunis yang terperinci demikian ini harus dianggap fitnahan belaka ? Kegiatan anti – komunis tsb adalah langsung bertentangan dengan politik Presiden Sukarno yang justru kurang lebih dua minggu yang sebelumnya, berkenaan memberikan amanat dirapat raksasa Ultah ke – 45 PKI di Stadion Utama Senayan, dimana Presiden Sukarno sekali lagi menandaskan bahwa PKI adalah “ya sanak ya kadang, yen mati melu kelangan”.

Ketiga : Bahwasanya bisa ada Jenderal – jenderal tertentu yang berbuat tidak beres, hal itu adalah mungkin sekali. Bukanlah P.Y.M Presiden Sukarno telah memberikan canang – canang politik ? Pernah diperingatkan bahwa “bukan bedil yang memimpin manipol, tetapi manipol yang memimpin bedil”. Dalam amanat “Takari P.Y.M.Presiden Sukarno mencanangkan” …… aku muak, mual mau muntah, kalau mendengar omongan orang yang mau jasa, jasa,jasa saja. Biar engkau dulu Jenderal — petak ditahun 1945, tetapi kalau sekarang mengacau front Nasakom, kalau sekarang memusuhi sokoguru – sokoguru revolusi, engkau menjadi tenaga reaksi !

Demikian canang politik Presiden kepada para Jenderal dan tidak masuk akal, jika canang politik itu diberikan oleh P.Y.M. Presiden Sukarno selaku Pangti dan PBR tanpa ada alasan – alasan.

Menurut analisa kelas daripada PKI, kebenaran analisa mana yang saja serahkan kepada Rakyat untuk mempertimbangkannya, tiap golongan politik dalam masyarakat yang berkelas – kelas pasti mewakili kelas tertentu. “Timbullah pertanyaan, kelas apakah yang diwakili oleh Dewan Jenderal ? PKI berpendapat bahwa Dewan Jenderal mewakili kepentingan kelas ekonomi dan politik dari pada kelas Kapitalis-birokrat yang tumbuh pada tahun – tahun terakhir daripada berlakunya SOB pada waktu penindasan pemberontakan separatis PRRI/Permesta. Maka itu selama ada kapitalis-birokrat dikalangan militer selama itu akan ada segolongan militer yang mewakili kepentingan – kepentingan ekonomi dan politiknya dengan namanya bisa berubah – rubah. Kali ini bernama Dewan Jenderal, lain kali bernama lain. Jelaslah bahwa menentang Dewan Jenderal pada hakekatnya adalah menentang Jenderal tertentu yang menjadi kapitalis-birokrat atau yang menjalankan politik kapitalis birokrat, yang dalam prakteknya bersifat memusuhi nasakom dan sokoguru – sokoguru revolusi. Oleh karenanya saya menolak keras pendapat Oditur bahwa menentang Dewan Jenderal adalah sama dengan menentang AD atau sama dengan Angkatan Darat-phobi. Saya kira umum telah mengetahui bahwa PKI adalah salah satu Partai yang menganjurkan persatuan Dwitunggal Rakyat dan Tentara.

Dalam “Takari”, P.Y.M. Presiden Sukarno memperingatkan “Saya selalu mengatakan bahwa perjuangan kelas harus ditundukkan kepada perjuangan nasional…… Tetapi aku memperingatkan, kalau koruptor – koruptor dan pencoleng – pencoleng kekayaan negara meneruskan operasi mereka yang sesungguhnya anti Republik dan anti – Rakyat itu, maka jangan kaget jika pada satu waktu perjuangan antar golongan berkobar dan membakari kemewahan hidup kaum koruptor dan pencoleng itu!”. Demikian peringatan Presiden. Kaum kapitalis – birokrat adalah termasuk golongan pencoleng – pencoleng kekayaan negara. Salah satu contohnya adalah apa yang pernah dihebohkan sebagai “Skandal Tanjung Priuk” Yaitu peristiwa penyelundupan secara besar – besaran yang dilakukan oleh beberapa anggota Dewan Jenderal.

Demikianlah tiga macam pertimbangan – pertimbangan politis yang memberi keyakinan politik saya tentang adanya Dewan Jenderal. Bagaimana cara pembuktiannya secara yuridis saya serahkan kepada pembela hukum saya.

Saya lebih yakin lagi akan adanya Dewan Jenderal setelah saya sekedar mendapatkan bahan – bahan masa epiloog dari G.30.S.’ Masa epiloog merupakan masa

“openbaring atau masa terbukanya wajah politik yang sesungguhnya daripada Dewan Jenderal. Dari koran – koran dapat diketahui bahwa Jenderal A.H. Nasution mucul terang – terangan dengan kampanye anti-komunisnya, sungguhpun Presiden Sukarnotiada jemu – jemunya memberikan indoktrinasi – indoktrinasi tentang mutlaknya Nasakom bagi penyelesaian revolusi Indonesia. Akibat daripada kampanye komunis ini terjadilah pengejaran, penangkapan, dan pembunuhan terhadap ratusan ribu kaum komunis dan patriot – patriot lainnya yang dianggap korban komunis, tidak terbatas kepada mereka yang tersangkut langsung lansung dengan “G.30.S.”. Hal ini dibuktikan oleh pernyataan PYM. Presiden Sukarno dalam amanat beliau pada Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Isatana Bogor pada tanggal 15 Januari 1966, yang menegaskan ,,Kita tidak perlu tutup kita punya mata, ada penunggangan – penunggangan didalam epiloog untuk membuat keadaan disini makin kacau, makin kacau, makin kacau, makin bersih daripada apa yang di namakan komunis – komunis dan antek – antek dari pada komunis, sampai kepada orang – orang yang tidak tahu menahu tentang komunisme dibersihkan sama sekali.

Pujangga besar India Rabidranath Tagore pernah memuja daun – daun yang sudah kuning berguguran sebagai rabuk bagi pohon – pohon yang hidup. ,,Demikian saya yakin bahwa tulang – belulang kaum komunis dan patriot – patriot lainnya yang berguguran dalam epiloog “G.30.S.” akan menjadi rabuk bagi gerakan revolusioner Rakyat Indonesia. Apapun dalih dan alasannya, kampanye anti-komunis itu hanyalah menggembirakan kaum imperialis, hal mana bisa dilihat dari suara pers-radio mereka sehari – hari ; sehingga Presiden Sukarno terpaksa mengusir wartawan AS.

Dalam persidangan Mahmillub sekarang ini, satu – satunya barabg bukti yang di ajukan oleh oditur adalah surat pernyataan dari panitia Odang untuk menyangkal danya Dewan Jenderal. Hasil – hasil daripada panitia Odang masih sulit dijadikan pegangan politis, karena dalam surat pernyataan tersebut dinyatakan bahwa kesimpulan – kesimpulanya masih bersifat sementara, saya sangat meragukan hasil – hasil pemeriksaan panitia Odang, karena panitia tersebut dibentuk oleh Jenderal A.H.Nasution sendiri, sedangkan Jenderal A.H.Nasution justru disebut – sebut sebagai tokoh utama Dewan Jenderal. Dalam bahasa sehari – hari dapat dinyatakan bahwa “itu mah mengadili sendiri”.

Maka itu saya menolak kesimpulan oditur dan Panitia Odang bahwa soal Dewan Jenderal hanyalah satu fitnahan belaka yang dibuat oleh PKI, khususnya oleh Kawan D.N.Aidit. Ini berarti sidang – sidang Politbiro CC PKI pada bulan Agustus 1965 benar – benar mendiskusikan masalah bagaimana cara yang tepat menggalkan rencana kudeta Dewan Jenderal, bukan mendiskusikan masalah bagaimana membuat fitnahan untuk mencetuskan “G.30.S”.

Tentang keputusan – keputusan sidang politbiro pada akhir bulan Agustus 1965 saya tetap pada pengakuan yang saya berikan dalam pemeriksaan Mahmillub dalam sidang – sidang yang telah lalu. Keputusan – keputusan tersebut sebagaimana sudah saya jelaskan adalah :

  1. Melaporkan kepada PYM. Presiden tentang bahaya kudeta Dewan Jenderal dan mengharap PJM. Presiden mengambil langkah – langkah pencegahan.

  2. Tindakan PKI menunggu sikap PYM. Presiden dan

  3. Menginformasikan kedalam partai tentang bahaya kudeta Dewan Jenderal.

Pengakuan saya ini jelas diperkuat oleh keterangan – keterangan Saksi Peris Pardede dan saksi Pak Djoyo yang oleh Oditur keterangan tersebut tidak disinggung sama sekali.

Saya kira Oditur tidak lupa, bahwa saksi Peris Pardede telah menjelaskan bahwa ketengan – keterangan kawan Sudisman kepadanya tidak dibenarkan oleh kawan M.H. Lukman yang menyatakan bahwa keinginan bertindak mendahului terhadap rencana Dewan Jenderal hanyalah menjadi kecolongan keinginan kawan D.N. Aidit sendiri yang setelah disidangkan lain keputusannya.

Pak Djoyo memang menjelaskan bahwa ormas – ormas datang sendiri minta dilatih di Lubang Buaya, tetapi Pak Djoyo juga manerangkan keterangan inilah yang tidak disinggung oleh Oditur – bahwa yang mengajukan permintaan dan yang membuat persetujuan dengan ormas – ormas mengenai soal latihan tersebut adalah Kapten Suradi. Jadi keterangan pak Djoyo itu tetap memperkuat pengakuan saya bahwa pengiriman tenaga – tenaga cadangan tersebut dilakukan atas permintaan Lubang-Buaya yang oleh pak Djoyo diperjelas atas keputusan ex Kolonel Latif dkk-nya.

Selain melupakan keterangan – keterangan tersebut diatas, dalam requisitoirnya Oditur sekali lagi berbuat tidak konsekwen yaitu melakukan tanggapan – tanggapan politik yang subyektif yang menurut pendapat Oditur sendiri tidak punya nilai – nilai pembuktian secara Yuridis. Tanggapan – tanggapan politik yang subyektif ini ialah keterangan – keterangan karena PKI adalah organisasi yang militant yang selalu bekerja dengan rencana, karena sidang – sidang Politbiro CC PKI membicarakan tentang imbangan kekuatan militer dan perspektif politik, karena ada persamaan politik antara Harian Rakyat dan Dewan Revolusi dalam menentang Dewan Jenderal, dan karena adanya “cel-sistim” dan “GTM”, maka Oditur otomatis menarik kesimpulan bahwa PKI-lah dalangnya “G.30.S”.

Kesimpulan – kesimpulan Oditur ini jelas bersifat subyektif. Misalnya tiap persamaan politik tidak otomatis berarti ada persamaan dalam hal – hal lain. Buktinya antara Oditur dan saya terdapat persamaan pendirian politik dalam menentang nekolim, tetapi terdapat perbedaan penilaian mengenai Dewan Jenderal.

Saya mengakui bahwa saya telah melakukan serentetan kegiatan membantu “G.30.S”. Tetapi saya menolak dakwaan bahwa dengan membantu “G.30.S” itu maka saya telah melakukan perbuatan penggulingan atau pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah yang ada. Satu – satunya barang bukti yang diajukan oleh Oditur selama dalam pemeriksaan Mahmillub adalah adanya Dekrit No.1 dari “G.30.S” tentang pembentukan Dewan Revolusi dan pendemisioneran Kabinet Dwikora. Tetapi dalam menggunakan Dekrit No.1 tersebut sebagai barang bukti tidak dilakukan secara konsekwen. Dalam Dekrit tersebut – dinyatakan, bahwa “Gerakan 30 September adalah gerakan semata – mata dalam tubuh Angkatan Darat untuk mengakhiri perbuatan sewenang – wenang Jenderal – jenderal anggota Dewan Jenderal dst-nya”. Dibagian lain daripada Dekrit No.1 tersebut – dinyatakan bahwa “G.30.S” adalah suatu “Gerakan pembersihan terhadap anggota – anggota apa yang menamakan dirinya Dewan Jenderal yang telah merencanakan kup menjelang hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965”. Maka itu dalam keterangan saya pada waktu pemeriksaan telah saya jelaskan bahwa didimisionerkannya Kabinet Dwikora adalah karena dalam kabinet tersebut terdapat unsur – unsur Dewan Jenderal.

Bahwasanya “G.30.S.” bukanlah suatu pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah yang ada, tetapi suatu gerakan pembersihan, hal ini tidak hanya dinyatakan dalam pengumuman dan dekrit Dewan Revolusi, juga dibuktikan oleh perbuatan – perbuatan konkritnya.

Dalam tiap sejarah pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah yang ada, baik yang kita alami sendiri ataupun yang terjadi diberbagai negeri tentulah ada tindakan konkrit seperi penangkapan – penangkapan pejabat – pejabat yang bertanggung jawab dalam pemerintahan yang bersangkutan. Tetapi apa yang terjadi dengan “G.30.S.”. Seorang menteripun tidak ada yang ditangkap, apalagi Presiden yang mengepalai Kabinet Dwikora.

Jelaslah bahwa ‘G.30.S” bukanlah suatu pemberontakan, tetapi suatu gerakan pembersihan. Bagaimana keterangan yudidisnya saya serahkan kepada pembela hukum saya.

Juga tidak bisa saya terima dakwaan bahwa akibat – akibat “G.30.S.” adalah menghalang- halangi Triprogram pemerintah. Kenyataan – kenyataannya ialah selain saya telah berusaha untuk mencegah kemacetan lalu – lintas darat dan udara dan gejala – gejala negatif yang bisa mengganggu keamanan, perbuatan mana adalah jelas bersifat konsrtuktuif, apa yang dinamakan “G.30.S.” bagi ibukota Jakarta Raya hanyalah berlaku sehari, bagi kota – kota lain mungkin beberapa hari sesudah itu yang berlaku adalah epiloog daripada “G.30.S.”. Mengenai epiloog ini PYM. Presiden mensinyalir adanya gejala – gejala yang mau membawa revolusi Indonesia kekanan, adanya usaha – usaha penunggangan, adanya kegiatan – kegiatan nekolim , termasuk CIA, dan pada waktu akhir – akhir ini adanya usaha – usaha pendongkelan – pendongkelan secara gelap terhadap PYM. Presiden sendiri. Jelaslah bahwa gejala – gejala politik kekanan, penunggangan – penunggangan dan pendongkelan – pendongkelan itulah yang menghalang – halangi pelaksanaan Tri-Program pemerintah. Sebuah bukti adalah pernyataan PYM. Presiden dalam amanat beliau disidang Paripurna Kabinet di Bogor pada tanggal 15 Januari 1965, yaitu “…… di JL.Thamrin salah satu papan ditulis : Mengacaukan harga sekarang ini adalah antek – antek Gestapu. Lha kok murah sekali,……”. Demikian pernyataan Presiden. Saya tidak bermaksud mencap dakwaan Oditur sebagai dakwaan murah. Saya hanya minta supaya dikemukakan “blote feiten”. Contoh lain misalnya jika ada gontok – gontokan yang sampai membawa korban yang menurut surat kabar diluar negeri jumlahnya lebih besar daripada jumlah korban perang 3 tahun di Vietnam, hal itu terang bukan sebagai akibat “G.30.S.” tetapi akibat penunggangan – penunggangan yang bersifat anti komunis. Dan kampanye anti- komunis. Dan kampanye anti-komunis inilah yang memperlemah perjuangan anti-malaysia dan anti-nekolim.

Kesimpulan

Bedasarkan keterangan – keterangan dan pertimbangan – pertimbangan diatas maka saya tetap menolak dakwaan – dakwaan yang diajukan oleh Oditur dan menganggap tuntutan hukuman yang dijatuhkan oleh Oditur tidak adil. Ini tidak berarti saya cucitangan terhadap segala kegiatan yang telah saya lakukan dalam membantu “G.30.S.”.

Soal pokoknya adalah cukup gamlang, yaitu antara Oditur dengan saya terdapat perbedaan penilaian politik mengenai ada atau tidak adanya Dewan Jenderal. Oditur berpendirian bahwa PKI lah yang membuat fitnahan mengenai Deawan Jenderal. Saya berkeyakinan bahwa Dewan Jenderal bukanlah satu fitnahan, tetapi sungguh – sungguh ada. Kontrdiksi politik ini akan berlaku dalam pengolahan politik dalam negeri untuk waktu yang lama.

Siapakah yang benar ? Saya yakin bahwa pada suatu masa Rakyat yang cukup tinggi kesadaran politiknya akan menghakiminya siapa yang benar dan salah.

Secara politis saya serahkan penyelesaian politiknya kepada PYM. Presiden selaku PBR dan penyambung lidah Rakyat.

Hingga sekarang PYM. Presiden belum mengambil penyelesaian politik. Kenyataan politik ini saya harapkan dipertimbangkan sebaiknya oleh Mahmillub dalam menjatuhkan vonis, sehingga bisa dihindarkan kontradiksi antara penyelesaian secara yuridis dengan penyelesaian secara politis, sehingga dapat diambil keputusan yang dapat dipertanggung-jawabkan kepada kebenaran sejarah dihari ini dan dihari nanti serta tidak memberikan kesan bahwa dewasa ini ada usaha – usaha untuk menjalankan politik menghabisi nyawa tokoh – tokoh pimpinan terpenting daripada PKI, politik mana pada suatu masa pasti tidak dibenarkan dan dikutuk oleh Rakyat. Nasakom adalah suatu realitet sosial. Dan sebagai suatu ilmu dan cita – cita sosial komunisme tidak mungkin bangun selama masih ada proletariat dan Rakyat pekerja lainnya.

Saudara Ketua dan para anggota Mahmillub, saya akhiri pembelaan saya ini dengan menyatakan keyakinan saya akan kebenaran pepatah Jawa “becil ketitik olo ketoro” yang berarti siapa yang benar dan yang salah akhirnya ketahuan juga oleh umum.

Sekian dan terimakasih.

Komentar ditutup.